Kamis, 08 November 2012

Percuma Memikirkan HAM saat Kita Belum Makan


Jumat (12/10) yang lalu, Ketua Komite Nobel Norwegia Thorbjoern Jagland mengumumkan bahwa peraih Nobel Perdamaian adalah Uni Eropa (UE). Nobel Perdamaian ini diberikan kepada UE karena organisasi multi-nasional ini selama enam dekade telah berhasil berkontribusi pada perdamaian dan rekonsiliasi, demokrasi dan hak-hak asasi di Eropa. Selain itu UE juga berhasil membangun ekonomi dari abu Perang Dunia II.

Namun, pemberian Nobel Perdamaian kepada UE di saat krisis ekonomi melanda Eropa ini tak lepas dari kritikan oleh beberapa pihak. Heming Olaussen misalnya, pemimpin organisasi anti-keanggotaan UE ini menyatakan bahwa justru UE-lah penyebab merosotnya ekonomi di Eropa. Serta ada pula kritikan adanya indikasi politisasi dalam pemberian Nobel Perdamaian. Untuk mengetahui lebih jauh tentang polemik dalam pemberian nobel ini, pada Jumat (2/11), Andreas Yanu Kristiawan, mencoba mewawancarai dosen pascasarjana Hubungan Internasional, Dr. Arry Bainus, M.A. di salah satu ruang kelas di Gedung E Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran, Bandung.


Seperti yang kita tahu UE meraih Nobel Perdamaian saat krisis ekonomi melanda Eropa, berpengaruhkah penerimaan Nobel Perdamaian ini dengan krisis yang sekarang sedang dialami?
Secara tidak langsung tentu saja, namun konteksnya yang berbeda. Masalah ekonomi itu timbul karena persoalan internal dari beberapa negara yang dianggap perekonomiannya tidak bisa memadai dan tumbuh berkembang seperti negara-negara UE yang lain. Namun, pemberian hadiah Nobel ini tidak bisa dilihat dari segi ekonomi. UE mendapat Nobel karena berhasil mempertahankan keamanan di daerah Balkan seperti Kosovo dan Albania.

Namun disebutkan di surat kabar salah satu alasan kenapa UE mendapatkan Nobel adalah karena telah berhasil membangun ekonomi semenjak Perang Dunia II dan perang dingin . . .
Ya, memang betul UE adalah success story yang berdiri setelah Perang Dunia. Negara-negara Eropa saat itu terpuruk semua. Namun berangkat dari tambang batubara dan besi atas kerjasama antara Perancis dan Jerman Barat, UE mulai bangkit. UE berdiri bukan hanya memacu pertumbuhan ekonomi, memang pada awalnya membangun perekonomian, tapi juga kemudian berimbas pada kemampuan melanggengkan perdamaian yang panjang. Walaupun ada perang dingin, namun UE berhasil meredam hingga tidak terjadi perang terbuka.

Jadi secara tidak langsung kesejahteraan ekonomi mempengaruhi perdamaian?
Ya iya. Namun bisa dilihat bahwa walaupun tidak bisa langsung mengatakan suatu negara yang masuk ke UE tidak bisa secara langsung meningkat ekonominya. Tetap saja Spanyol tidak bisa menyetarakan ekonominya dengan Jerman, Perancis atau Inggris. Apalagi dengan negara-negara Eropa Timur yang baru saja masuk. Makanya kesulitan mereka adalah menyetarakan hal itu.

Banyak sekali kritik terhadap pemberian Nobel ini. Salah satunya adalah kritik berpartisipasinya beberapa anggota UE dalam agresi NATO di Timur Tengah, hal ini bertentangan dengan surat wasiat Alfred Nobel. Apa hal itu tidak dipertimbangkan?
Saya kira pernyataan Alfred Nobel tentang pengurangan tentara sudah banyak dilakukan oleh negara-negara Eropa. Karena negara-negara Eropa sekarang berpikirnya begini, contohnya Belanda, daripada membangun tentaranya sendirian, lebih baik melebur di dalam NATO. Ketika melebur di dalam NATO inilah efisiensi terjadi. Negara-negara itu sedang mengurangi jumlah tentaranya, mengurangi anggaran militernya, tapi diefisiensikan. Nah, omongan Alfred Nobel itu telah terjadi sebenarnya. Lalu belum tentu semua negara UE yang tergabung dalam NATO serentak mendukung NATO. Lihat saja saat di Afghanistan, ada delegasi NATO dari UE yang tidak menyetujuinya.

Berdasarkan kritik-kritik itu, menurut Anda seperti apa indikator kelayakan penerima Nobel Perdamaian jika dilihat dari kondisi politik dan keamanan internasional saat ini?
Menurut saya, kita harus balik ke ucapan Nobel, bahwa Nobel ini harus diabdikan ke nilai-nilai kemanusiaan. Entah nilai kemanusian itu dapat dilihat secara fisik atau biologis, maka orang kedokteran dan ekonomi yang melihat bagaimana kesejahteraan dan kesehatan manusia. Termasuk pada perdamaian, dilihat lagi indikator nilai kemanusian itu adalah manusia itu sendiri. Dalam artian jati dirinya dan nilai-nilai hak asasi manusia. Jadi sah-sah saja  perseorangan ataupun organisasi internasional maupun lokal yang membaktikan dirinya pada nilai-nilai kemanusian itu dimungkinkan bisa menang.

Lalu apa saja peran konkrit UE dalam penerapan nilai-nilai kemanusiaan ini?
Contoh, Den Haag adalah sumbernya hukum yang banyak berkiprah dalam membincangkan hak-hak asasi manusia. Di Inggris ada Amnesti Internasional. Swiss dan Austria, mereka mengantarkan perpindahan rezim yang dulunya otoriter di Eropa Timur, Amerika Latin dan juga Indonesia dengan konsep security sector reform, itu semua adalah masalah hak asasi manusia. Juga tadi kasus Kosovo, UE berperan hingga tidak terjadi genosida di situ. Kalau memang ada indikator yang dimunculkan oleh UE, layak dia memperoleh Nobel.

Jadi Anda mematahkan kritik-kritik yang dilontarkan kepada UE?
Iya tentu saja. UE memang layak mendapatkan Nobel Perdamaian. Walau bagaimanapun kritik itu memang perlu. Supaya bahwa hadiah Nobel itu memang layak untuk UE. Tidak sembarang mendapat hadiah tanpa effort (upaya), sehingga bisa dibuktikan oleh mereka. Itu pertama, yang kedua untuk jurinya sendiri. Untuk masa yang akan datang tidak bisa semena-mena untuk memilih berdasarkan kriteria ini, taat dan patuh pada itu. Sehingga nanti tidak sampai ada kritik lagi.

Kritik adanya indikasi politisasi untuk meningkatkan citra UE di masa krisis ekonomi ini juga terpatahkan?
Ya tentu saja itu patah. Kan dari awal pemberian Nobel ini tidak ada kaitannya dengan krisis ekonomi.

Melihat ke Indonesia, selama ini belum pernah ada individu atau organisasi dari Indonesia yang meraih Nobel Perdamaian. Apakah untuk tahun depan ada potensi bagi Indonesia untuk meraih Nobel ini?
Menurut saya ada beberapa kemungkinan orang atau organisasi meraih Nobel di negara berkembang. Pada kasus tertentu ada permasalahan yang berkaitan dengan hak asasi manusia, kemudian ada organsiasi atau orang yang menyuarakan dengan keras ketika ada pelanggaran HAM. Almarhum Munir misalnya, ia bisa mendapat Nobel jika dapat dibuktikan ia meninggal karena ada persoalan dengan HAM yang notabene berbentrokan dengan rezim, dia bisa menang untuk itu. Yang kedua kalau ada konflik yang bisa diselesaikan, kemarin ada yang menyuarakan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) atau JK (Jusuf Kalla) bisa menang atas perdamaian dengan GAM. Namun masalahnya adalah di Indonesia ini belum ada elemen yang utuh tentang hak asasi itu sendiri. Contohnya tentara, kelompok Islam dan lain-lain, kan tidak semua persepsi atas hak asasi manusia itu sama. Tapi saya jamin suatu saat di Indonesia ada yang konsisten dalam menyuarakan HAM. Tapi tentu saja punya level internasional.

Jadi apakah sekarang sudah ada orang Indonesia yang bergerak di kancah internasional?
Sebenarnya sih sudah ada, cuma ya selalu kalah, kalah karena ada masalah. Contohnya SBY, nggak mungkin panitia memenangkan SBY, karena SBY dulunya adalah tentara, tentara pada masa Orde Baru sudah dicap sedemikian rupa. Walaupun SBY sedemikian demokrat, namun tetap saja dilihat dari masa lalu bagaimana dia, belum konsisten jadinya. Harusnya yang konsisten dari ujung ke ujung, seperti Nelson Mandela misalnya yang berani dipenjara untuk menyuarakan HAM selama bertahun-tahun, jadi layaklah dia.

Lalu apa peluang Indonesia? Indonesia dapat memulainya dari mana?
Indonesia punya peluang di konflik di Laut Cina Selatan. Jika Indonesia sampai bisa memediasi tidak terjadi konflik dan perang bahkan. Wah, itu akan mendapat acungan jempol di internasional. Ironinya, Indonesia sendiri diganggu dengan persoalan-persoalan HAM yang sangat elementer. Contoh, banyak sekali masalah karena perbedaan agama. Gimana kita bisa menang Nobel jika ada persoalan dalam negeri yang sangat elementer? Mulai dari jenderal hingga guru besar banyak yang begitu.

Jadi harus mengentaskan isu SARA terlebih dahulu?
Untuk SARA jelas, di Indonesia peluang isu SARA sangat besar. Namun tidak sekedar SARA, masalah korupsi belum selesai, masalah keadilan masih ada, masih banyak orang yang makan nasi aking. Indonesia banyak orang kaya, ada 25 juta orang. Namun ya yang miskin tentu lebih banyak, besar sekali gap-nya. Boro-boro menyelesaikan isu SARA saat masalah ekonomi di Indonesia sendiri belum beres. Percuma memikirkan HAM saat kita belum makan. 

(Andreas Yanu Kristiawan)
Share on :

0 komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright 8ANDUNG TERKINI 2012 - Media Online Terkini. Some rights reserved, kostumisasi layout oleh Dyah Eka | Diberdayakan oleh Blogger.com.
Template Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates and Theme4all