Jumat (12/10) yang lalu,
Ketua Komite Nobel Norwegia Thorbjoern Jagland mengumumkan bahwa peraih Nobel
Perdamaian adalah Uni Eropa (UE). Nobel Perdamaian ini diberikan kepada UE
karena organisasi multi-nasional ini selama enam dekade telah berhasil
berkontribusi pada perdamaian dan rekonsiliasi, demokrasi dan hak-hak asasi di
Eropa. Selain itu UE juga berhasil membangun ekonomi dari abu Perang Dunia II.
Namun, pemberian Nobel Perdamaian kepada UE di saat
krisis ekonomi melanda Eropa ini tak lepas dari kritikan oleh beberapa pihak. Heming
Olaussen misalnya, pemimpin organisasi anti-keanggotaan UE ini menyatakan bahwa
justru UE-lah penyebab merosotnya ekonomi di Eropa. Serta ada pula kritikan
adanya indikasi politisasi dalam pemberian Nobel Perdamaian. Untuk mengetahui
lebih jauh tentang polemik dalam pemberian nobel ini, pada Jumat (2/11), Andreas Yanu Kristiawan, mencoba mewawancarai dosen pascasarjana Hubungan Internasional, Dr.
Arry Bainus, M.A. di salah satu ruang kelas di Gedung E Pascasarjana Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran, Bandung.
Seperti yang kita tahu
UE meraih Nobel Perdamaian saat krisis ekonomi melanda Eropa, berpengaruhkah
penerimaan Nobel Perdamaian ini dengan krisis yang sekarang sedang dialami?
Secara tidak langsung
tentu saja, namun konteksnya yang berbeda. Masalah ekonomi itu timbul
karena persoalan internal dari beberapa negara yang dianggap perekonomiannya
tidak bisa memadai dan tumbuh berkembang seperti negara-negara UE yang lain.
Namun, pemberian hadiah Nobel ini tidak bisa dilihat dari segi ekonomi. UE
mendapat Nobel karena berhasil mempertahankan keamanan di daerah Balkan seperti
Kosovo dan Albania.
Namun disebutkan di
surat kabar salah satu alasan kenapa UE mendapatkan Nobel adalah karena telah
berhasil membangun ekonomi semenjak Perang Dunia II dan perang dingin . . .
Ya, memang betul UE adalah success story yang berdiri setelah Perang Dunia. Negara-negara Eropa saat itu terpuruk semua. Namun berangkat dari
tambang batubara dan besi atas kerjasama antara Perancis dan Jerman Barat, UE
mulai bangkit. UE berdiri bukan hanya memacu pertumbuhan ekonomi, memang pada
awalnya membangun perekonomian, tapi juga kemudian berimbas pada kemampuan
melanggengkan perdamaian yang panjang. Walaupun ada perang dingin, namun UE
berhasil meredam hingga tidak terjadi perang terbuka.
Jadi secara tidak
langsung kesejahteraan ekonomi mempengaruhi perdamaian?
Ya iya. Namun bisa dilihat
bahwa walaupun tidak bisa langsung mengatakan suatu negara yang masuk ke UE
tidak bisa secara langsung meningkat ekonominya. Tetap saja Spanyol tidak bisa
menyetarakan ekonominya dengan Jerman, Perancis atau Inggris. Apalagi dengan
negara-negara Eropa Timur yang baru saja masuk. Makanya kesulitan mereka adalah
menyetarakan hal itu.
Banyak sekali kritik
terhadap pemberian Nobel ini. Salah satunya adalah kritik berpartisipasinya
beberapa anggota UE dalam agresi NATO di Timur Tengah, hal ini bertentangan
dengan surat wasiat Alfred Nobel. Apa hal itu tidak dipertimbangkan?
Saya kira pernyataan
Alfred Nobel tentang pengurangan tentara sudah banyak dilakukan oleh
negara-negara Eropa. Karena negara-negara Eropa sekarang berpikirnya begini,
contohnya Belanda, daripada membangun tentaranya sendirian, lebih baik melebur
di dalam NATO. Ketika melebur di dalam NATO inilah efisiensi terjadi.
Negara-negara itu sedang mengurangi jumlah tentaranya, mengurangi anggaran
militernya, tapi diefisiensikan. Nah, omongan Alfred Nobel itu telah terjadi
sebenarnya. Lalu belum tentu semua negara UE yang tergabung dalam NATO serentak
mendukung NATO. Lihat saja saat di Afghanistan, ada delegasi NATO dari UE yang
tidak menyetujuinya.
Berdasarkan
kritik-kritik itu, menurut Anda seperti apa indikator kelayakan penerima Nobel
Perdamaian jika dilihat dari kondisi politik dan keamanan internasional saat
ini?
Menurut saya, kita harus
balik ke ucapan Nobel, bahwa Nobel ini harus diabdikan ke nilai-nilai
kemanusiaan. Entah nilai kemanusian itu dapat dilihat secara fisik atau
biologis, maka orang kedokteran dan ekonomi yang melihat bagaimana
kesejahteraan dan kesehatan manusia. Termasuk pada perdamaian, dilihat lagi
indikator nilai kemanusian itu adalah manusia itu sendiri. Dalam artian jati dirinya
dan nilai-nilai hak asasi manusia. Jadi sah-sah saja perseorangan ataupun organisasi
internasional maupun lokal yang membaktikan dirinya pada nilai-nilai kemanusian
itu dimungkinkan bisa menang.
Lalu apa saja peran
konkrit UE dalam penerapan nilai-nilai kemanusiaan ini?
Contoh, Den Haag adalah
sumbernya hukum yang banyak berkiprah dalam membincangkan hak-hak asasi
manusia. Di Inggris ada Amnesti Internasional. Swiss dan Austria, mereka
mengantarkan perpindahan rezim yang dulunya otoriter di Eropa Timur, Amerika
Latin dan juga Indonesia dengan konsep security
sector reform, itu semua adalah masalah hak asasi manusia. Juga tadi kasus
Kosovo, UE berperan hingga tidak terjadi genosida di situ. Kalau memang ada
indikator yang dimunculkan oleh UE, layak dia memperoleh Nobel.
Jadi Anda mematahkan
kritik-kritik yang dilontarkan kepada UE?
Iya tentu saja. UE memang
layak mendapatkan Nobel Perdamaian. Walau bagaimanapun kritik itu memang perlu.
Supaya bahwa hadiah Nobel itu memang layak untuk UE. Tidak sembarang mendapat
hadiah tanpa effort (upaya), sehingga
bisa dibuktikan oleh mereka. Itu pertama, yang kedua untuk jurinya sendiri.
Untuk masa yang akan datang tidak bisa semena-mena untuk memilih berdasarkan
kriteria ini, taat dan patuh pada itu. Sehingga nanti tidak sampai ada kritik
lagi.
Kritik adanya indikasi
politisasi untuk meningkatkan citra UE di masa krisis ekonomi ini juga
terpatahkan?
Ya tentu saja itu patah.
Kan dari awal pemberian Nobel ini tidak ada kaitannya dengan krisis ekonomi.
Melihat ke Indonesia,
selama ini belum pernah ada individu atau organisasi dari Indonesia yang meraih
Nobel Perdamaian. Apakah untuk tahun depan ada potensi bagi Indonesia untuk
meraih Nobel ini?
Menurut saya ada beberapa
kemungkinan orang atau organisasi meraih Nobel di negara berkembang. Pada kasus
tertentu ada permasalahan yang berkaitan dengan hak asasi manusia, kemudian ada
organsiasi atau orang yang menyuarakan dengan keras ketika ada pelanggaran HAM.
Almarhum Munir misalnya, ia bisa mendapat Nobel jika dapat dibuktikan ia
meninggal karena ada persoalan dengan HAM yang notabene berbentrokan dengan
rezim, dia bisa menang untuk itu. Yang kedua kalau ada konflik yang bisa
diselesaikan, kemarin ada yang menyuarakan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) atau
JK (Jusuf Kalla) bisa menang atas perdamaian dengan GAM. Namun masalahnya
adalah di Indonesia ini belum ada elemen yang utuh tentang hak asasi itu
sendiri. Contohnya tentara, kelompok Islam dan lain-lain, kan tidak semua
persepsi atas hak asasi manusia itu sama. Tapi saya jamin suatu saat di
Indonesia ada yang konsisten dalam menyuarakan HAM. Tapi tentu saja punya level
internasional.
Jadi apakah sekarang
sudah ada orang Indonesia yang bergerak di kancah internasional?
Sebenarnya sih sudah ada,
cuma ya selalu kalah, kalah karena ada masalah. Contohnya SBY, nggak mungkin
panitia memenangkan SBY, karena SBY dulunya adalah tentara, tentara pada masa
Orde Baru sudah dicap sedemikian rupa. Walaupun SBY sedemikian demokrat, namun
tetap saja dilihat dari masa lalu bagaimana dia, belum konsisten jadinya.
Harusnya yang konsisten dari ujung ke ujung, seperti Nelson Mandela misalnya
yang berani dipenjara untuk menyuarakan HAM selama bertahun-tahun, jadi
layaklah dia.
Lalu apa peluang
Indonesia? Indonesia dapat memulainya dari mana?
Indonesia punya peluang di
konflik di Laut Cina Selatan. Jika Indonesia sampai bisa memediasi tidak
terjadi konflik dan perang bahkan. Wah, itu akan mendapat acungan jempol di
internasional. Ironinya, Indonesia sendiri diganggu dengan persoalan-persoalan
HAM yang sangat elementer. Contoh, banyak sekali masalah karena perbedaan
agama. Gimana kita bisa menang Nobel jika ada persoalan dalam negeri yang
sangat elementer? Mulai dari jenderal hingga guru besar banyak yang begitu.
Jadi harus mengentaskan
isu SARA terlebih dahulu?
Untuk SARA jelas, di
Indonesia peluang isu SARA sangat besar. Namun tidak sekedar SARA, masalah
korupsi belum selesai, masalah keadilan masih ada, masih banyak orang yang
makan nasi aking. Indonesia banyak orang kaya, ada 25 juta orang. Namun ya yang
miskin tentu lebih banyak, besar sekali gap-nya. Boro-boro menyelesaikan isu SARA saat masalah ekonomi di Indonesia
sendiri belum beres. Percuma memikirkan HAM saat kita belum makan.
(Andreas Yanu Kristiawan)
(Andreas Yanu Kristiawan)

0 komentar:
Posting Komentar