Video
Klasemen
Arsip
-
▼
2012
(13)
-
▼
November
(13)
- Musisi Jalanan
- Sudut Malam Monumen Perjuangan
- Kurangnya Standar Keselamatan Pekerja Bangunan
- Penghargaan Nobel Sastra, Indonesia Kapan?
- Bermain Sambil Belajar Bersama
- Rumah Di Seribu Ombak
- Komunitas Reptil Bandung: Tahu, Mengenal, dan Peduli
- Lebih Dekat dengan Soekarno melalui Wawancara Imaj...
- Teh Minuman Kesehatan
- Percuma Memikirkan HAM saat Kita Belum Makan
- Tarian Jepang, Cita Rasa Indonesia
- K3S: Komunikasi Adalah Bagian dari Budaya
- Partner untuk Lem Fibrin
-
▼
November
(13)
Foto Jurnalistik
Musisi Jalanan
Sudut Malam Monumen Perjuangan
Kurangnya Standar Keselamatan Pekerja Bangunan
Para pekerja bangunan
pembangunan gedung penunjang pendidikan di Universitas Padjadjaran tidak
memperdulikan pakaian standar keselamatan pekerjaan mereka.
Jatinangor, Sumedang – Seorang pekerja bangunan,
Adi Sholeh (35) mengaku tidak mengetahui soal standar keselamatan pekerja
bangunan saat proses pembangunan gedung penunjang pendidikan di Gelanggang Olah
Raga (GOR) Pakuan Universitas Padjadjaran, Kamis (8/11).
Pembangunan
gedung penunjang pendidikan Unpad yang ditandatangani pada tanggal 28 September
2012 lalu, tidak mementingkan keselamatan pekerjanya. “Mandornya lagi nggak ada, dek. Lagi keluar kayaknya”
ujar Riyadi, seorang pekerja yang baru saja masuk Rabu (7/11) lalu.
Ketidakhadiran mandor pekerja sebagai pengawas pekerjaan, membuat makin
bertambahnya kurang perhatian terhadap standar keselamatan pekerja disana.
Para
pekerja yang sudah bekerja semenjak tanggal ditandatanganinya kontrak mengaku
sudah biasa bekerja dengan keadaan sedemikian rupa. Mereka bekerja tanpa
menghiraukan keselamatan mereka. Helm standar pekerja, sarung tangan, rompi pelindung,
dan sepatu boots tidak mereka kenakan.
Para pekerja tersebut hanya menggunakan baju kaos kerah, celana panjang, dan
sepatu biasa.
Ketika
ditanya mengenai ketua pelaksana maupun rekomendasi keselamatan dari mandor,
para pekerja tersebut tidak mengetahui keberadaan mandor mereka. Hal ini
menimbulkan ketidakpastian dalam standar keamanan para pekerja bangunan
tersebut.
(Ogie
Kurniawan)
Wawancara
Penghargaan Nobel Sastra, Indonesia Kapan?
Sastra bagi negara komunis China sudah mendapat
apresiasi lebih dikancah internasional. Hal ini membuktikan kemajuan yang
drastis bagi China. Karena baru pertama kali warga negara China, Mo Yan, dan
orang China kedua yang terpilih menjadi penerima Penghargaan Nobel
Kesusasteraan pada tahun 2012 ini dengan karya-karyanya yang mengubah persepsi
orang mengenai realitas kehidupan. Mo Yang juga pernah dituding subversif
karena kritik sosial tajam pada karya-karyanya.
Banyak sastrawan kita yang kurang diapresiasi oleh
beberapa kalangan penduduk Indonesia. Seperti halnya, kurangnya apresiasi di
tingkat SD, SMP, SMA dan bahkan di tingkat perguruan tinggipun sama halnya. Hal
ini perlu diperhatikan oleh orang banyak, karena bisa memicu turunnya peringkat
Indonesia khususnya di bidang sastra dengan banyak-sedikitnya apresiator dari
berbagai kalangan. Namun hal ini perlu dikaji ulang karena berkaitan dengan
minat baca. Meskipun sebenarnya banyak sastrawan kita yang memiliki karya-karya
yang sudah berhasil meraih penghargaan-penghargaan tertentu, seperti Pramoedya
Ananta Toer, dengan beberapa karyanya menembus beberapa penghargaan juga, dan
Andrea Hirata, yang sukses dengan Laskar Pelanginya. Kedua sastrawan tersebut
sudah mendapat penghargaan secara internasional meskipun tidak mendapatkan
Penghargaan Nobel Sastra.
Seorang sastrawan Unpad, Taufik Ampera sangat
senang mengikuti berita mengenai Penghargaan Nobel Sastra. Beliau yang saat ini
sedang menjadi Dosen Sastra Sunda di Fakultas Ilmu Budaya, Unpad mengikuti alur
perkembangan sastra baik negara sendiri maupun negara-negara lainnya, seperti
China yang baru-baru ini menerima Penghargaan Nobel Sastra. Beliau sangat ahli
dalam mengkaji perihal seputar Penghargaan Nobel Sastra dan karya-karya
sastrawan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer dan sastrawan luar seperti Mo Yan
yang baru saja tahun 2012 ini menerima Penghargaan Nobel Sastra. Beliau sangat
lugas, dan tegas menjawab setiap pertanyaan yang saya lontarkan terkait
Penghargaan Nobel Sastra ini. Mari kita simak bagaimana wawancara, Ogie
Kurniawan, mahasiswa Jurnalistik Fikom Unpad dengan Taufik Ampera mengenai
Penghargaan Nobel Sastra dan perkembangannya di Indonesia.
Apa itu Penghargaan Nobel Kesusasteraan?
Nobel Penghargaan Sastra itu adalah penghargaan
tertinggi dan bergengsi untuk bidang sastra di tingkat dunia, karena itu akan
memberikan bukti apresiasi atau penghargaan kepada sastrawan di negara-negara
dunia ini bahwa mereka sudah menciptakan karya yang dihargai oleh banyak
negara. Penghargaan yang cukup penting di luar bidang-bidang lainnya, dan Alhamdulillah nobel itu juga memasukkan
sastra sebagai bagian dari penghargaan.
Apakah menurut Bapak, ada kriteria khusus yang
disepakati untuk pemilihan penerima Nobel Penghargaan ini?
Tentu saja ada ya,
tim penilai juri memiliki kiriteria untuk menentukan karya yang akan dijadikan
sebagai apa yang akan diberikan penghargaan. Tapi yang Saya amati, beberapa
karya itu ada pertalian dengan tata negara. Seperti cerminan politik, pengarangnnya,
latar belakang karya itu sendiri.
Bagaimana tanggapan anda mengenai Mo Yan sebagai
penerima Nobel Penghargaan Sastra?
Mo Yan sebagai pengarang China ya, Saya pikir
adalah orang yang sangat kritis dalam memberikan realita yang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari dan bisa dituangkan dalam karyanya. Karyanya pun
mencerminkan perpaduan antara imajinasi dengan realita berbentuk padu, karyanya
banyak menggambarkan atau menceritakan kehidupan yang ada kaitannya dengan
latar sejarah, kemudian sosial masyarakatnya. Artinya disini diangkat
permasalahan-permasalahan yang kompleks tentang realita manusia. Saya pikir itu
merupakan daya kreativitas yang dilatarbelakangi oleh daya kritik pengarang terhadap
kenyataan yang ada dan Saya pikir Mo Yan itu adalah pengarang yang memang
memiliki bakat yang luar biasa, beberapa karyanya udah diapresiasi, sudah mendapatkan satu penghargaan yaitu karya
yang judulnya “Kata”. Kemudian ada karya satu lagi yang diterjemahkan kedalam Bahasa
Indonesia dada subur, pantat apa itu, Saya lupa judulnya. Ada penghargaan
pengakuan karya Mo Yan serta dia sebagai pengarang.
Ini berarti suatu kemajuan bagi China ya pak
dibidang sastra, sedangkan selama ini biasanya juri hanya melirik pada
negara-negara Eropa…
Saya justru berkata sebaliknya, bukan kemajuan
bagi China, namun itu kemajuan bagi juri. Sudut pandang juri yang dulu lebih
berorientasi pada Eropa ternyata ada perubahan sekarang negara-negara lainnya
itu perlu dilirik, perlu diapresiasi, karena negara-negara diluar Eropa itu
banyak sekali menghasilkan sastrawan yang menghasilkan karya agung monumental.
Kemudian ketika memilih China tentu saja ada alasan-alasan lain. Saya pikir
disinilah tadi karya itu akan berdekatan dengan tata negara dan politik,
kebetulan apa yang digambarkan oleh Mo Yan dalam karyanya juga berkaitan dengan
politik. Ketika dia mendapatkan penghargaan, ada satu syarat atau negosiasi
yang berkaitan dengan politik, hal itu menarik Saya pikir. Jadi yang ada
kemajuan itu Saya pikir diletak juri itu, juri mau mengubah paradigma dalam
melihat karya diluar karya-karya Eropa.
Jika dibandingkan karya-karya sastrawan Indonesia
dengan karya Mo Yan gimana pak?
Ada satu perbandingan, Pramoedya Ananta Toer,
karyanya luar biasa, Pram sudah termasuk pengarang yang produktif. Pram sudah
menghasilkan 50 karya, kemudian sudah dialih bahasakan ke 41 bahasa gitu kalo tidak salah. Artinya disitu
ada keluarbiasaan dan ada persamaan yang terjadi pada Mo Yan dengan Pram. Mo
Yan sempat ditentang dengan karyanya, begitu juga Pram. Dia selalu menyangkut
situasi kondisi kenegaraan. Mo Yan pun seperti itu, nah artinya disini ada sesuatu yang bisa diangkat dalam realita itu
tentu saja dengan pengolahan imajinasi tersebut. Kalau Saya perbandingkan,
artinya sebenarnya Indonesia juga ada sastrawan ada pengarang yang kualitasnya
malah lebih lah dari Mo Yan, kalau Pram sudah mendapatkan penghargaan, tahun
1999 Madagaskar, tahun 2000 Jepang, lebih banyak penghargaan yang diterima Pram
daripada Mo Yan.
Pramoedya Ananta Toer pernah terpilih sebagai
kandidat penerima Nobel Penghargaan Sastra, akan tetapi setelahnya tidak ada
lagi, bagaimana tanggapan Bapak?
Saya pikir memang untuk ke nobel itu belum ada
pengarang seperti Pram. Namun baru-baru ini ada angin segar pengarang muda,
Andrea Hirata. Karyanya bisa menembus 21 negara, bisa menembus
penerbit-penerbit yang menerbitkan novel karya sastra yang mendapatkan
penghargaan nobel artinya sudah sejajar dengan pengarang yang mendapatkan
penghargaan. Artinya Andrea belum mendapatkan hadiah nobel tapi secara umum dia
sudah mendapatkan pengakuan secara internasional. Kalau kedepannya mungkin bisa dijadikan
kebanggan bagi Indonesia, sebagai pengarang yang bisa dijadikan pengarang
internasional.
Apakah ada prospek kedepan bagi sastrawan Indonesia
sebagai kandidat penerima Penghargaan Nobel Sastra?
Ya bisa, artinya ada karya yang diunggulkan. Itu
artinya diterima juga oleh negara-negara lain. Bagaimana cara penerimaannya,
yaitu negara-negara lain bisa mengalihbahasakan ke berbagai bahasa. Bukan hanya
sekedar bahasa Inggris tapi bahasa-bahasa asing lainnya. Sehingga mendapatkan
pengakuan. Kalau semua itu sudah dilakukan, artinya karya Indonesia sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain, semakin banyak dibaca semakin banyak
di apresiasi. Dan ada masukan ke panitia juri tentang karya yang diunggulkan itu
langkah-langkah yang bisa dilakukan. Artinya karya-karya yang diunggulkan yaitu
juga merupakan tugas penerbit di Indonesia yang bekerja sama dengan penerbit di
luar kemudian juga pemerintah melalui departemen tertentu bagaimana
mempublikasikan, mengedarkan karya anak bangsa diluar, gitu ya. Sekarang kan banyak kegiatan-kegiatan ditingkat
internasional yang ada kaitannya dengan pengenalan kebudayaan, salah satunya
coba kita kenalkan karya-karya yang ada di Indonesia.
Apa upaya sastrawan Indonesia agar semua itu
terealisasikan dengan baik?
Sastrawan seharusnya juga banyak belajar dari
karya-karya dari luar. Artinya kita bisa mengolah lebih banyak dengan
perkembangan-perkembangan dari sudut penceritaan, tema-tema yang diambil,
pengolahan imajinasi, bagaimana menemukan dan mengangkat realita yang ada ke
dalam fiksi, itu seharusnya lebih banyak dipelajari. Kemudian juga kaitannya dengan
perkembangan teknologi juga, seharusnya dikaitkan dengan dengan sastra ya. Jadi
sastra bukan hanya dalam bentuk buku, tapi bagaimana sastra bisa diahlihkan
dengan teknologi. Saya pikir itu akan lebih membuka peluang untuk dibaca oleh
masyarakat luar. Masyarakat di negara-negara lain sisanya dengan elektronik,
dan media lainnya. Dan juga harus dipikirkan agar karya anak bangsa ini hak
ciptanya bisa dihargai.
Menurut Bapak, apa kekurangan kita berdasarkan
sastra itu sendiri atau disudut pandang sastrawannya?
Apresiasi sastra sangat lemah sekali. Kalau karya
sastra Saya pikir sudah ada sudah banyak sudah cukup untuk dibaca oleh
masyarakat, tapi apresiasi masyarakat terhadap sastra itu masih kurang. Jadi
bagaimana sekarang pekerjaan kita menumbuhkan apresiasi. Saya pikir masih lemah
apresiasi ditingkat SD, SMP, SMA malah perguruan tinggi juga terutama yang
belajar di Fakultas Sastra, kemudian yang menyebabkan itu tentu saja ada
kaitannya dengan minat baca yaitu bagaimana kita bisa menghargai bisa
mengapresiasi bisa membaca karya sastra kalau tidak ada minat baca. Ya
upaya-upaya seperti itulah masyarakat tentunya harus lebih berbakat.
Kalau untuk kepengarangannya bagaimana pak?
Kalau untuk kepengarangan dewasa ini di Indonesia
banyak lah pengarang-pengarang muda yang sudah menghasilkan karya-klarya yang
bisa diunggulkan baik itu pengarang-pengarang perempuan ataupun pengarang laki-laki.
Jadi tampaknya disini tidak didominasi oleh laki-laki saja tapi juga perempuan.
Dan juga ada karya Mo Yan yang sudah difilmkan, yang judulnya Saya lupa. Itu
membuktikan karya-karya Mo Yan ini sangat berkelas ya dibidangnya.
Apakah dari Fakultas Sastra Unpad ada bakat-bakat
yang sudah mulai kelihatan untuk menjadi sastrawan?
Untuk sekarang sih Saya lihat ada, cuman mereka
masih butuh pembelajaran yang pas. Artinya disini mereka harus lebih banyak
membaca karya-karya sastrawan baik luar maupun dalam negeri. Dengan begitu
mereka akan terlatih untuk membuat karangan-karangan yang bersifat atau bernilai
sastra.
(Rahmat Ogie Kurniawan)
Bermain Sambil Belajar Bersama
Jatinangor,
Sumedang – Jumat
(9/11), sebuah acara dengan unsur bermain dan pendidikan diadakan di Lapangan Ex-Kopma
Universitas Padjadjaran oleh mahasiswa dan mahasiswi Departemen Ilmu Hubungan
Masyarakat (Humas), Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Fikom Unpad)
angkatan 2011. Acara yang diberi judul Gembira
Belajar dan Beraksi (Galaksi) adalah bagian dari rangkaian orientasi yang
dijalani oleh mereka, yakni Public Relations Orientation (PRO) 2012.
Humas angkatan 2011 diberikan
kesempatan untuk membuat dua event angkatan
yang mengharuskan mereka untuk memisahkan diri ke dalam dua kelompok, yakni social event dan gathering event. Sehari sebelumnya, event bernama Maroonation telah berlangsung di Aula Moestopo,
Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Fikom Unpad).
“Galaksi ini adalah satu
rangkaian itu, ini adalah social event angkatan,”
ujar Alf Ghibran, ketua event Galaksi.
Sebelumnya, para panitia telah melakukan fact
finding dan menemukan bahwa kadar kebahagiaan anak-anak di Jatinangor
rendah. “Contohnya di Ciseke dan TPU Gajah. Di Ciseke, tempat sampah dibuat
sebagai tempat bermain. Itu miris banget kalau
gue lihat, buat main bola pula. Di
TPU Gajah juga sama, tempat itu dipakai sebagai tempat bermain mereka,” jelas
pria kelahiran Malang, 10 Oktober 1992 ini.
Konsep acara Galaksi ini
sendiri adalah fun learning with children,
bermain sambil belajar dengan anak-anak. Semua elemen dalam pelaksanaan acara
ini, baik panitia, peserta, maupun para panitia PRO 2012 sendiri, bersatu dan
bersenang-senang. “Kita juga bisa mengenang masa kecil kita,” ucap pria yang
akrab dipanggil Jawa.
Peserta yang mengikuti
rangkaian acara dari pukul 15.00 WIB ini adalah murid-murid SDN Neglasari
Jatinangor dan anak-anak dari Panti Asuhan Yayasan Riyadlul Jannah. Jawa beralasan
bahwa pemilihan SD ini melihat gedung sekolah yang digunakan bangunnanya tak
layak disebut tempat belajar. Sedangkan panti asuhan dipilih karena Humas 2011
ingin membahagiakan anak-anak yang tak lagi memiliki ayah dan ibu dengan apa
yang mereka punya.
Alf Ghibran memuji teman-teman
Humas 2011-nya yang bekerja dengan sangat asyik sehingga persiapan acara ini
sangatlah lancar. Respon yang mereka dapatkan dari masyarakat sekitar juga
baik. Salah satu pengurus Hima Humas, Dzulkifli Nurindra Surachman, dari Humas
2010, anggota Divisi Media menilai bahwa acara ini berhasil. “Daripada
tahun-tahun sebelumnya, acara ini lebih ramai dan kayaknya semuanya lebih berpartisipasi, baik panitia maupun
nonpanitia.”
(Rizky Nawan Putra Lubis)
Rumah Di Seribu Ombak
Kamis, 08 November 2012
Judul : Rumah Di Seribu Ombak
Pengarang : Erwin Arnada
Penerbit : Gagas Media
Halaman : 387
Dimensi : 14.5 x 21 cm
“ Tahukah kau mengapa Tuhan menciptakan langit dan laut? Semata agar kita tahu, dalam perbedaan, ada batas yang membuat mereka tampak indah dipandang.”
"Rumah Di Seribu Ombak" bercerita tentang perahabatan dua orang anak
laki-laki, Samihi dan Wayan Manik. Meski usia, kepercayaan, dan latar belakang
mereka berbeda, perbedaan-perbedaan tersebut justru menyatukan mereka. Mereka
berdua tinggal di sebuah desa kecil di kawasan Singaraja, Bali, yang bernama
Kalidukuh. Perbedaan memang bukan hal yang besar di Desa Kalidukuh, di desa
inilah warga beragama Islam dan Hindu hidup berdampingan dengan rukun dan damai.
Samihi dibesarkan dalam lingkungan keluarga Muslim, sedangkan Yanik, sapaan
akrab Wayan Manik, dibesarkan dengan lingkungan keluarga Hindu.
Buku karya Erwin Arnada ini dikemas secara apik sehingga menggugah
emosi pembaca. Diceritakan perjuangan Samihi dan Yanik dalam mengejar
mimpi-mimpi mereka masing-masing. Persahabatan mereka pun seringkali diuji
dengan konflik-konflik menarik yang terkadang menimbulkan pertengkaran kecil di
antara mereka.
Ujian terberat bagi persahabatan mereka ialah ketika Samihi membocorkan
rahasia Yanik kepada Ketua Adat di desa mereka. Masih merasa kecewa dengan
perbuatan Samihi itu, Yanik kembali diuji dengan adanya Tragedi Bom Bali yang
menewaskan ayah kandungnya.
Kejadian-kejadian tersebut akhirnya membuat Yanik berkeputusan
untuk pergi meninggalkan Desa Kalidukuh. Samihi benar-benar menyesal dengan
kejadian itu, ia berusaha mencegah kepergian Yanik, tetapi hal itu sia-sia.
Apakah persahabatan yang telah mereka jalin selama ini hancur karena
kejadian-kejadian tersebut?
Buku ini banyak memberikan pelajaran bagi pembacanya, mulai dari
persahabatan, mimpi, cinta, bahkan pluralisme beragama.
(Mentari Chairunisa)
Komunitas Reptil Bandung: Tahu, Mengenal, dan Peduli
Banyak orang yang mengatakan bahwa reptil adalah hewan yang buas dan menjijikkan. Tunggu dulu, kenyataannya reptil bisa menjadi hewan peliharaan yang jinak seperti halnya kucing dan juga anjing. Komunitas Reptil Bandung (KRB) tengah melakukan ‘promosi’ gencar-gencaran mengenai kelayakan reptil untuk dijadikan hewan peliharaan ini. “Dulu, kita pernah nyoba bawa reptil jalan-jalan di Ciwalk, tapi ternyata kita diusir, padahal Ciwalk itu termasuk pet-mall,” ujar Tema Datresta, ketua KRB.
Fakta-fakta
yang mengungkap bahwa reptil masih dipandang sebelah mata itulah yang membuat
KRB bertekad untuk memasyarakatkan reptil. Untuk mewujudkan tekad tersebut, KRB
mulai melakukan sosialisasi mengenai reptil di acara-acara yang diselenggarakan
di Kota Bandung. Selain membuka stan di acara-acara tersebut, KRB juga rutin
mengadakan sosialisasi di Car Free Day (CFD)
setiap Minggu. Mereka biasanya membawa reptil-reptil peliharaan mereka,
seperti biawak, ular, dan iguana agar orang-orang mulai menjadi terbiasa dengan
reptil.
Banyak
yang tidak menyadari bahwa reptil sebenarnya adalah aset berharga yang dimiliki
Indonesia. Reptil terbesar di dunia berada di Indonesia, yakni komodo. Hal ini
menjelaskan bahwa seharusnya Indonesia, baik pemerintah maupun masyarakatnya,
turut andil melestarikan hewan tersebut. Mulai peduli dengan kehidupan reptil-reptil
di luar sana.
“Di
Indonesia, reptil patut untuk dibanggakan. Orang-orang mancanegara banyak yang
datang ke sini untuk mengenal reptil lebih jauh,” papar Tema. Selain komodo, reptil
lain di Indonesia yang patut dibanggakan ialah ular sanca kembang. “Mungkin
orang cuma tahu kalau ular terbesar di dunia itu phyton, tapi enggak banyak dari mereka yang tahu kalau ular terpanjang
di dunia itu ada di Indonesia, yaitu ular sanca kembang,” tambah Tema.
Aset-aset seperti itulah yang seharusnya patut kita jaga dan kita lestarikan, kita pun juga patut berbangga dengan adanya reptil-reptil tersebut yang sebenarnya bisa dijadikan objek wisata. Namun, sayang,masyarakat masih banyak yang memandang reptil sebelah mata, terlebih lagi, pemerintah pun dirasa kurang begitu peduli dengan hal ini.
Menyebarkan Edukasi, Melalui
Sosialisasi
Selain melakukan sosialisasi terhadap reptil, KRB juga menyelipkan sisi edukasi tentang reptil kepada masyarakat. “Edukasi yang kami lakukan itu berupa sosialisasi kepada masyarakat mengenai berbagai macam reptil yang berasal dari Indonesia dan juga luar Indonesia,” ujar Tema. Menurutnya, edukasi itu penting agar masyarakat mulai tahu, mengenal, dan juga peduli terhadap reptil.
Biasanya,
materi-materi edukasi yang diberikan cukup beragam dan terbagi menjadi beberapa
kelas. Kelas-kelas tersebut membantu para masyarakat yang ingin belajar atau
pun bertanya mengenai reptil, kelas-kelas tersebut ialah kelas pemula menengah,
dan mahir. Dalam
edukasi kelas pemula, biasanya hanya dijelaskan mengenai jenis-jenis reptil dan
bagaimana cara pemeliharaannya saja.
Edukasi pemula biasanya diberikan kepada masyarakat awam. Edukasi menengah berisikan materi mengenai cara beternak reptil dan juga perkembangbiakannya. Sedangkan materi mahir berisikan bukan materi-materi ringan untuk para penggila reptil. Edukasi yang mereka berikan biasanya tak berbatas usia, mereka melakukan sosialisasi edukasi itu terhadap semua kalangan, mulai anak-anak, remaja, hingga dewasa. “Kalau untuk anak SD, sih, kita lebih menjelaskan dengan contoh. Misalnya, kalau ular di sawah terus dibunuh, maka populasi tikus akan bertambah dan juga akan mengakibatkan padi yang terus menipis,” papar Tema.
Edukasi pemula biasanya diberikan kepada masyarakat awam. Edukasi menengah berisikan materi mengenai cara beternak reptil dan juga perkembangbiakannya. Sedangkan materi mahir berisikan bukan materi-materi ringan untuk para penggila reptil. Edukasi yang mereka berikan biasanya tak berbatas usia, mereka melakukan sosialisasi edukasi itu terhadap semua kalangan, mulai anak-anak, remaja, hingga dewasa. “Kalau untuk anak SD, sih, kita lebih menjelaskan dengan contoh. Misalnya, kalau ular di sawah terus dibunuh, maka populasi tikus akan bertambah dan juga akan mengakibatkan padi yang terus menipis,” papar Tema.
Selain
melakukan edukasi kepada masyarakat, mereka juga saling bertukar informasi
antar sesama komunitas reptil, seperti Komunitas Reptil Cimahi, Komunitas
Reptil Jatinangor, Komunitas Reptil Garut, dan lainnya. Dengan
dilakukannya sharing informasi
tersebut, KRB berharap dapat menambah akrab jalinan komunitas-komunitas reptil
yang ada.
Selain melakukan sosialisasi tersebut, KRB juga mengadakan kontes-kontes reptil untuk menarik minat dan perhatian orang-orang. Di samping itu, kontes tersebut diharapkan dapat mempertemukan para pecinta reptil satu sama lain. KRB pun terus berupaya agar masyarakat tak lagi menganggap bahwa reptil adalah binatang buas dan menjijikkan.
Mengapa Reptil?
Reptil
saat ini masih suka dipandang sebelah mata oleh masyarakat, mereka pun masih
enggan memikirkan hewan tersebut untuk dijadikan hewan peliharaan. Namun, Tema
dan kawan-kawan dari KRB justru telah dibuat jatuh cinta dengan hewan tersebut. “Pelihara
reptil itu enggak ribet karena makannya hanya sekali dalam seminggu. Selain
itu, dari segi waktu dan juga budget lebih ringan dibanding memelihara hewan lainnya,” ujar Tema.
Selain
alasan itu, mereka juga senang bergelut di dunia reptil karena kekeluargaan yang terbina di antara sesama pecinta reptil. “Reptil itu ruang lingkupnya kecil,
tetapi solid. Gampang menyebar di mana-mana,” tambah Tema. Alasan-alasan
itulah yang membuat mereka tetap bertahan untuk mencintai reptil. Upaya mereka
pun ternyata membuahkan hasil. Pada awalnya, di daerah Bandung sendiri hanya
memiliki tiga komunitas reptil, salah satunya ialah KRB yang merupakan
komunitas terbesar. Namun, seiring berjalannya waktu, saat ini mulai banyak
bermunculan komunitas-komunitas reptil yang lain yang bahkan tersebar di
wilayah-wilayah sekitaran Bandung.
Dengan
bermunculannya komunitas-komunitas reptil tersebut sperti memberikan angin
segar di dunia reptil, karena menurut mereka, komunitas lebih potensial menjaga
satwa, dalam hal ini reptil, ketimbang pemerintah.
(Mentari Chairunisa)
(Mentari Chairunisa)
Lebih Dekat dengan Soekarno melalui Wawancara Imajiner
Jatinangor, Sumedang - Himpunan
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan (HIMA IP) Universitas Padjadjaran (Unpad, Kamis
(8/11) menyelenggarakan acara bedah buku “Wawancara Imajiner dengan Bung Karno”
karya Christianto Wibisono. Dalam acara yang dilaksanakan di Gedung IP Unpad
ini hadir pula Christianto Wibisono sebagai pembicara. “Kegiatan diselenggarakan supaya membangkitkan semangat muda. Ini loh pahlawan kita yang dulu sempat
membangun Indonesia ini,” ujar Putra Padewa, anggota Kementrian Pengawasan IP 2011.
Pada kesempatan itu, Christianto Wibisono berbagi kisah
pengalamannya bersama dengan presiden pertama Republik Indonesia itu. Dalam
buku yang sempat dibredel pada tahun 70-an itu, Christianto melakukan wawancara
imajiner dengan Soekarno. “Wawancara imajiner
ini bukan menggunakan kekuatan supranatural, tetapi saya berperan ganda,
menjadi diri sendiri, dan menjadi Presiden Soekarno,” papar pria kelahiran
Semarang, 10 Agustus 1945 ini.
Panitia berharap, dengan adanya acara ini dapat menumbuhkan rasa
nasionalisme anak-anak Indonesia saat ini. “Mengutip
kata Presiden Soekarno, jangan sekali-kali melupakan sejarah, karena itu kita
buat acara ini sekaligus memperingati Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober kemarin dan
Hari Pahlawan 10 November nanti,” ujar Putri Rayustika, anggota Kementrian
Pendidikan dan Penalaran HIMA IP 2011.
Dalam kesempatan itu, Christianto sempat mengemukakan pendapatnya
mengenai kehidupan politik Indonesia pada masa lalu hingga saat ini,
“Sebenarnya, banyak orang kita yang hebat, berkelas dunia, tapi dijegal terus, nggak sportif. Itu yang bikin Indonesia nggak maju,” ujarnya.
Dalam bedah buku yang berlangsung sekitar empat jam tersebut hadir
pula sebagai pembicara Iman Soleh, dosen Ilmu Pemerintahan, dan juga Andi M.
Nurdin, mahasiswa Ilmu Pemerintahan. Sayangnya, Budiarto Shambazy, wartawan
Kompas, berhalangan hadir pada saat itu. “Pak
Budiarto Shambazy berhalangan hadir karena ia mendapatkan tugas untuk meliput
pemilu presiden di Amerika Serikat,” ujar moderator.
Acara bedah buku ini sekaligus merupakan rangakaian Dies Natalis
Ilmu Pemerintahan Unpad yang jatuh pada Februari 2013 mendatang.
(Mentari Chairunisa)
(Mentari Chairunisa)
Teh Minuman Kesehatan
Teh
hijau, jenis teh tertua, amat disukai terutama oleh masyarakat Jepang dan Cina.
Di sini daun teh mengalami sedikit proses pengolahan berbentuk pemanasan dan
pengeringan sehingga warna hijau daun dapat dipertahankan. Sedangkan teh Oolong
lebih merupakan jenis peralihan antara teh hitam dan teh hijau. Ketiga jenis
teh masing-masing memiliki khasiat kesehatan karena mengandung ikatan biokimia
yang disebut polyfenol,
termasuk di dalamnya flavonoid.
Flavonoid merupakan suatu kelompok antioksidan yang secara alamiah ada di dalam
sayur-sayuran, buah-buahan, dan minuman seperti teh dan anggur.
Subklas
polifenol meliputi flavonol, flavon, flavanon, antosianidin, katekin, dan
biflavan. Turunan dari katekin seperti epi-cathecin (EC), epigallo-cathecin
(EGC), epigallo-cathecin
gallate (EGCg), dan quercetin umumnya ditemukan di dalam teh. EGCg dan quercetin merupakan antioksidan
kuat dengan kekuatan hingga 4-5 kali lebih tinggi dibandingkan vitamin E dan C
yang juga merupakan antioksidan potensial. Antioksidan diketahui mampu
menghindarkan sel dari kerusakan mengingat setiap kerusakan sel akan menyumbang
lebih dari 50 penyakit. Teh hijau mengandung EGCg, demikian juga teh hitam.
Dalam sebuah studi yang dilakukan peneliti
Belanda menyebutkan, mengkonsumsi 4-5 cangkir teh hitam setiap hari akan
menurunkan resiko stroke hingga 70% dibanding dengan mereka yang mengkonsumsi
teh 2 cangkir sehari atau kurang. Laporan lainnya menyebutkan lebih banyak
mengkonsumsi teh hitam berhubungan dengan rendahnya kasus serangan jantung.
John Folts, Direktur Sekolah Medis, Pusat Penelitian dan Pencegahan Arteri
Trombosis, Universitas Wisconsin, AS menemukan kunci khasiat dalam teh yaitu flavonoid. Hasil penelitiannya menunjukkan, flavonoid dalam
teh hitam mampu menghambat penggumpalan sel-sel platelet darah sehingga
mencegah penyumbatan pembuluh darah pada penyakit hantung koroner dan stroke.
Studi lain menyebutkan bahwa peminum teh fanatik memiliki kadar kolesterol dan
tekanan darah yang rendah, meskipun masih belum jelas apakah semuanya itu
langsung disebabkan karena teh.
Penelitian di Jepang menunjukkan, daerah
penghasil teh yang penduduknya terkenal sebagai peminum teh fanatik, sangat
rendah angka kematiannya yang disebabkan oleh kanker. Hasil studi lainnya,
dilakukan kerjasama antara tim peneliti Oguni dan pusat penelitian kanker di
Beijing untuk mempelajari pengaruh ekstrak teh hijau pada tikus yang telah
diberi ransum makanan karsinogenik (zat pemicu kanker). Dilaporkan, angka
rata-rata kanker pada tikus yang memperoleh ekstrak teh hijau setengah dari
tikus yang tidak memperoleh ekstrak teh hijau.
(Laura Laurenza)
(Laura Laurenza)
Percuma Memikirkan HAM saat Kita Belum Makan
Jumat (12/10) yang lalu,
Ketua Komite Nobel Norwegia Thorbjoern Jagland mengumumkan bahwa peraih Nobel
Perdamaian adalah Uni Eropa (UE). Nobel Perdamaian ini diberikan kepada UE
karena organisasi multi-nasional ini selama enam dekade telah berhasil
berkontribusi pada perdamaian dan rekonsiliasi, demokrasi dan hak-hak asasi di
Eropa. Selain itu UE juga berhasil membangun ekonomi dari abu Perang Dunia II.
Namun, pemberian Nobel Perdamaian kepada UE di saat
krisis ekonomi melanda Eropa ini tak lepas dari kritikan oleh beberapa pihak. Heming
Olaussen misalnya, pemimpin organisasi anti-keanggotaan UE ini menyatakan bahwa
justru UE-lah penyebab merosotnya ekonomi di Eropa. Serta ada pula kritikan
adanya indikasi politisasi dalam pemberian Nobel Perdamaian. Untuk mengetahui
lebih jauh tentang polemik dalam pemberian nobel ini, pada Jumat (2/11), Andreas Yanu Kristiawan, mencoba mewawancarai dosen pascasarjana Hubungan Internasional, Dr.
Arry Bainus, M.A. di salah satu ruang kelas di Gedung E Pascasarjana Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran, Bandung.
Seperti yang kita tahu
UE meraih Nobel Perdamaian saat krisis ekonomi melanda Eropa, berpengaruhkah
penerimaan Nobel Perdamaian ini dengan krisis yang sekarang sedang dialami?
Secara tidak langsung
tentu saja, namun konteksnya yang berbeda. Masalah ekonomi itu timbul
karena persoalan internal dari beberapa negara yang dianggap perekonomiannya
tidak bisa memadai dan tumbuh berkembang seperti negara-negara UE yang lain.
Namun, pemberian hadiah Nobel ini tidak bisa dilihat dari segi ekonomi. UE
mendapat Nobel karena berhasil mempertahankan keamanan di daerah Balkan seperti
Kosovo dan Albania.
Namun disebutkan di
surat kabar salah satu alasan kenapa UE mendapatkan Nobel adalah karena telah
berhasil membangun ekonomi semenjak Perang Dunia II dan perang dingin . . .
Ya, memang betul UE adalah success story yang berdiri setelah Perang Dunia. Negara-negara Eropa saat itu terpuruk semua. Namun berangkat dari
tambang batubara dan besi atas kerjasama antara Perancis dan Jerman Barat, UE
mulai bangkit. UE berdiri bukan hanya memacu pertumbuhan ekonomi, memang pada
awalnya membangun perekonomian, tapi juga kemudian berimbas pada kemampuan
melanggengkan perdamaian yang panjang. Walaupun ada perang dingin, namun UE
berhasil meredam hingga tidak terjadi perang terbuka.
Jadi secara tidak
langsung kesejahteraan ekonomi mempengaruhi perdamaian?
Ya iya. Namun bisa dilihat
bahwa walaupun tidak bisa langsung mengatakan suatu negara yang masuk ke UE
tidak bisa secara langsung meningkat ekonominya. Tetap saja Spanyol tidak bisa
menyetarakan ekonominya dengan Jerman, Perancis atau Inggris. Apalagi dengan
negara-negara Eropa Timur yang baru saja masuk. Makanya kesulitan mereka adalah
menyetarakan hal itu.
Banyak sekali kritik
terhadap pemberian Nobel ini. Salah satunya adalah kritik berpartisipasinya
beberapa anggota UE dalam agresi NATO di Timur Tengah, hal ini bertentangan
dengan surat wasiat Alfred Nobel. Apa hal itu tidak dipertimbangkan?
Saya kira pernyataan
Alfred Nobel tentang pengurangan tentara sudah banyak dilakukan oleh
negara-negara Eropa. Karena negara-negara Eropa sekarang berpikirnya begini,
contohnya Belanda, daripada membangun tentaranya sendirian, lebih baik melebur
di dalam NATO. Ketika melebur di dalam NATO inilah efisiensi terjadi.
Negara-negara itu sedang mengurangi jumlah tentaranya, mengurangi anggaran
militernya, tapi diefisiensikan. Nah, omongan Alfred Nobel itu telah terjadi
sebenarnya. Lalu belum tentu semua negara UE yang tergabung dalam NATO serentak
mendukung NATO. Lihat saja saat di Afghanistan, ada delegasi NATO dari UE yang
tidak menyetujuinya.
Berdasarkan
kritik-kritik itu, menurut Anda seperti apa indikator kelayakan penerima Nobel
Perdamaian jika dilihat dari kondisi politik dan keamanan internasional saat
ini?
Menurut saya, kita harus
balik ke ucapan Nobel, bahwa Nobel ini harus diabdikan ke nilai-nilai
kemanusiaan. Entah nilai kemanusian itu dapat dilihat secara fisik atau
biologis, maka orang kedokteran dan ekonomi yang melihat bagaimana
kesejahteraan dan kesehatan manusia. Termasuk pada perdamaian, dilihat lagi
indikator nilai kemanusian itu adalah manusia itu sendiri. Dalam artian jati dirinya
dan nilai-nilai hak asasi manusia. Jadi sah-sah saja perseorangan ataupun organisasi
internasional maupun lokal yang membaktikan dirinya pada nilai-nilai kemanusian
itu dimungkinkan bisa menang.
Lalu apa saja peran
konkrit UE dalam penerapan nilai-nilai kemanusiaan ini?
Contoh, Den Haag adalah
sumbernya hukum yang banyak berkiprah dalam membincangkan hak-hak asasi
manusia. Di Inggris ada Amnesti Internasional. Swiss dan Austria, mereka
mengantarkan perpindahan rezim yang dulunya otoriter di Eropa Timur, Amerika
Latin dan juga Indonesia dengan konsep security
sector reform, itu semua adalah masalah hak asasi manusia. Juga tadi kasus
Kosovo, UE berperan hingga tidak terjadi genosida di situ. Kalau memang ada
indikator yang dimunculkan oleh UE, layak dia memperoleh Nobel.
Jadi Anda mematahkan
kritik-kritik yang dilontarkan kepada UE?
Iya tentu saja. UE memang
layak mendapatkan Nobel Perdamaian. Walau bagaimanapun kritik itu memang perlu.
Supaya bahwa hadiah Nobel itu memang layak untuk UE. Tidak sembarang mendapat
hadiah tanpa effort (upaya), sehingga
bisa dibuktikan oleh mereka. Itu pertama, yang kedua untuk jurinya sendiri.
Untuk masa yang akan datang tidak bisa semena-mena untuk memilih berdasarkan
kriteria ini, taat dan patuh pada itu. Sehingga nanti tidak sampai ada kritik
lagi.
Kritik adanya indikasi
politisasi untuk meningkatkan citra UE di masa krisis ekonomi ini juga
terpatahkan?
Ya tentu saja itu patah.
Kan dari awal pemberian Nobel ini tidak ada kaitannya dengan krisis ekonomi.
Melihat ke Indonesia,
selama ini belum pernah ada individu atau organisasi dari Indonesia yang meraih
Nobel Perdamaian. Apakah untuk tahun depan ada potensi bagi Indonesia untuk
meraih Nobel ini?
Menurut saya ada beberapa
kemungkinan orang atau organisasi meraih Nobel di negara berkembang. Pada kasus
tertentu ada permasalahan yang berkaitan dengan hak asasi manusia, kemudian ada
organsiasi atau orang yang menyuarakan dengan keras ketika ada pelanggaran HAM.
Almarhum Munir misalnya, ia bisa mendapat Nobel jika dapat dibuktikan ia
meninggal karena ada persoalan dengan HAM yang notabene berbentrokan dengan
rezim, dia bisa menang untuk itu. Yang kedua kalau ada konflik yang bisa
diselesaikan, kemarin ada yang menyuarakan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) atau
JK (Jusuf Kalla) bisa menang atas perdamaian dengan GAM. Namun masalahnya
adalah di Indonesia ini belum ada elemen yang utuh tentang hak asasi itu
sendiri. Contohnya tentara, kelompok Islam dan lain-lain, kan tidak semua
persepsi atas hak asasi manusia itu sama. Tapi saya jamin suatu saat di
Indonesia ada yang konsisten dalam menyuarakan HAM. Tapi tentu saja punya level
internasional.
Jadi apakah sekarang
sudah ada orang Indonesia yang bergerak di kancah internasional?
Sebenarnya sih sudah ada,
cuma ya selalu kalah, kalah karena ada masalah. Contohnya SBY, nggak mungkin
panitia memenangkan SBY, karena SBY dulunya adalah tentara, tentara pada masa
Orde Baru sudah dicap sedemikian rupa. Walaupun SBY sedemikian demokrat, namun
tetap saja dilihat dari masa lalu bagaimana dia, belum konsisten jadinya.
Harusnya yang konsisten dari ujung ke ujung, seperti Nelson Mandela misalnya
yang berani dipenjara untuk menyuarakan HAM selama bertahun-tahun, jadi
layaklah dia.
Lalu apa peluang
Indonesia? Indonesia dapat memulainya dari mana?
Indonesia punya peluang di
konflik di Laut Cina Selatan. Jika Indonesia sampai bisa memediasi tidak
terjadi konflik dan perang bahkan. Wah, itu akan mendapat acungan jempol di
internasional. Ironinya, Indonesia sendiri diganggu dengan persoalan-persoalan
HAM yang sangat elementer. Contoh, banyak sekali masalah karena perbedaan
agama. Gimana kita bisa menang Nobel jika ada persoalan dalam negeri yang
sangat elementer? Mulai dari jenderal hingga guru besar banyak yang begitu.
Jadi harus mengentaskan
isu SARA terlebih dahulu?
Untuk SARA jelas, di
Indonesia peluang isu SARA sangat besar. Namun tidak sekedar SARA, masalah
korupsi belum selesai, masalah keadilan masih ada, masih banyak orang yang
makan nasi aking. Indonesia banyak orang kaya, ada 25 juta orang. Namun ya yang
miskin tentu lebih banyak, besar sekali gap-nya. Boro-boro menyelesaikan isu SARA saat masalah ekonomi di Indonesia
sendiri belum beres. Percuma memikirkan HAM saat kita belum makan.
(Andreas Yanu Kristiawan)
(Andreas Yanu Kristiawan)
Tarian Jepang, Cita Rasa Indonesia
Odori adalah kata yang diambil dari bahasa Jepang yang memiliki arti menari atau tarian. Odori sendiri
menjadi nama dari kelompok seni tari yang berasal dari mahasiswa Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran (FIB Unpad). Keunikan dari klub tari ini adalah mereka
menarikan gerakan-gerakan
tari Jepang dan mengkreasikannya dengan
tarian Indonesia. Hal ini tentu saja tidak mudah. Sebab kedua tarian ini memiliki
ciri khas masing-masing dan karakteristik tersendiri.
Menurut Aci (20), koordinator
klub Odori, hal yang paling sulit adalah menggabungkannya. Entah itu dari segi
musik maupun dari segi tariannya. Dari segi gerakan tari misalnya, tarian
jepang mengintepretasikan penggambaran suasana dalam setiap detail-detail
gerakannya. Misalnya, dalam tarian klasik Jepang, ekspresi sedih tidak
digambarkan dengan ekspresi wajah. Namun melalui gerakan-gerakan kesedihan. Berbeda dengan
gerakan tari Indonesia yang lebih mengutamakan keselarasan dengan suara musik
dan keindahan setiap detil gerakannya. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi Aci
dan para anggota Odor. Mereka berusaha
menyesuaikan tarian dengan tempo tarian yang ada. Misalnya tari Jaipong yang berirama cepat dipadu dengan tarian rakyat Jepang yang bertempo sama sehingga muncul keunikan dari tari ini.
Kegiatan mereka ini mendapat sambutan menarik dari banyak pihak. Klub ini juga sudah meraih prestasi. Mereka baru saja memenangi juara Harapan I dalam Lomba Bunkashai se-Jawa Barat 2011 dengan menampilkan tarian Jepang, Shoran
Boshi, dan mengakulturasikannya
dengan salah satu tarian dari Sumatera.
Menurut Aci, alasannya dan
teman-temannya memang untuk mengembangkan potensi mahasiswa Jastra jepang di bidang seni tari. “Karena
kita mahasiswa Sastra Jepang, kebudayaan yang dikembangkan adalah budaya Jepang. Tapi tentu aja kita nggak bisa melupakan aspek budaya
Indonesia,” ujarnya.
Memasukkan konsep tari Indonesia juga
merupakan bentuk dari kecintaan mereka
terhadap budaya Indonesia.
Untuk program kerja selanjutnya, mereka akan membuat
campuran kreasi tarinya dengan tarian Indonesia dari daerah lain. “Mungkin selanjutnya bakal diambil dari tarian Sunda yang lebih enerjik,” ungkap Aci.
(Hella Pristiwaningsih)
(Hella Pristiwaningsih)
Komunitas
Komunikasi adalah asal muasal sebuah budaya itu lahir. Seperti itulah yang dijadikan dasar berdirinya Komunitas Suka Seni Sunda (K3S). Sebuah komunitas seni sunda yang didirikan di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Fikom Unpad). Komunitas ini sekilas memang bergerak di bidang seni budaya. Namun, perbedaan mereka dari komunitas seni sunda lain terletak pada basis komunikasi yang diterapkan dalam organisasi ini. Tidak hanya belajar serta mementaskan musik dan tari, tetapi banyak aspek komunikasi yang diterapkan.
K3S: Komunikasi Adalah Bagian dari Budaya
Komunikasi adalah asal muasal sebuah budaya itu lahir. Seperti itulah yang dijadikan dasar berdirinya Komunitas Suka Seni Sunda (K3S). Sebuah komunitas seni sunda yang didirikan di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Fikom Unpad). Komunitas ini sekilas memang bergerak di bidang seni budaya. Namun, perbedaan mereka dari komunitas seni sunda lain terletak pada basis komunikasi yang diterapkan dalam organisasi ini. Tidak hanya belajar serta mementaskan musik dan tari, tetapi banyak aspek komunikasi yang diterapkan.
Para anggota K3S
juga diberikan bekal untuk mengolah sebuah kegiatan (event organizer)
pementasan seni dan cara-cara membuat dokumentasi seperti fotografi dan video dokumentasi. Menurut Samson, selaku pembina K3S, ide ini berawal
dari potensi tinggi dari para mahasiswa Fikom Unpad dengan budaya lokal,
khususnya budaya Sunda. “Selama
ini mahasiswa Fikom itu banyak yang aktif di dalam kegiatan seni. Tapi kurang
mendapat sorotan dan perhatian dari lingkungan Fikom,” ujarnya.
Dalam pendirian
K3S ini, ia mengharapkan anggotanya untuk lebih
mengembangkan sivitas
pengetahuan akan budaya, metode
pelatihan, pengenalan dan apresiasi. Apresiasi yang diterapkan disini adalah
dari segi budaya dan komunikasi. “Misalnya saat kita menari, ada aspek
komunikasi yang kita apresiasikan. Yaitu gerakan-gerakan nonverbal. Ekspresi, penjiwaan dan lemah gemulainya gerakan tari. Sehingga
menghasilkan sesuatu yang indah. Dan keindahan itu adalah seni. Mungkin seperti
itu contoh kecilnya,” ujar dosen Fikom Unpad jurusan Ilmu Perpustakaan Fikom Unpad ini.
Bukan hanya itu saja. Menurut Samson, dalam sebuah apresiasi seni tidak bertugas sebagai orang yang
mengapresiasikan saja, namun disitu terdapat sebuah interaksi pesan antara
pementas seni dan juga penonton yang menyaksikannya. Sehingga terjadi sebuah
timbal balik antar penggiat seni dan penikmat seni itu. Hal itu sesuai dengan prinsip-prinsip komunikasi. Komunikasi juga
dekat dengan media, sehingga untuk kedepan K3S diharapkan dapat membuat sebuah
media kecil yang dapat menampung kegiatan seni ini.
(Hella Pristiwaningsih)
Partner untuk Lem Fibrin
Mencari Partner Bukan Perkara Mudah
Mencari partner untuk bekerja sama memang bukan perkara mudah, apalagi dalam bidang keilmuan yang jelas-jelas aplikasinya berbeda. Itulah yang dirasakan oleh Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran (FMIPA Unpad), khususnya Jurusan Kimia. Kesulitan benar-benar dirasakan oleh Dr. Imam Permana, bukan sekali dua kali penelitiannya ditolak.
Penolakan pertama terjadi sekitar tiga tahun yang lalu. Saat itu ia mengajukan kerja sama dengan Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Ikatan RSHS dengan Unpad yang terjalin sedemikian erat dan bagus membuat ia tak pernah menyangka penelitiannya mengenai molekul penyebab katarak akan ditolak mentah-mentah dengan alasannya sangat klise. Pihak RSHS mengatakan bahwa hal tersebut tidak perlu diteliti. Setelah penyakit terdeteksi dan diobati, semuanya beres.
Tetapi pemikiran Imam berbeda. Ia berasumsi bahwa ketika molekul sel terdeteksi, maka cara kerja obatnya pun akan langsung masuk sasaran, tidak asal tembak, tidak ada yang namanya salah obat. Kemudian dengan telaten ia mulai mengajukan proposal ke rumah sakit-rumah sakit lain, hingga akhirnya dengan sangat terbuka Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) memberikan angin segar dengan menerima pengajuan kerjasama tersebut.
Beberapa waktu yang lalu FMIPA Unpad kembali memberikan hasil yang membanggakan. Dua jurusan dari fakultas ini berhasil bekerja sama dengan pihak luar. Salah satunya masih jurusan yang sama, Kimia. Mereka bekerja sama dengan Rumah Sakit Cicendo tentang Lem Fibrin untuk pengobatan setelah operasi mata yang akan membawa dampak dan pengaruh besar terhadap dunia pengobatan, terutama dalam pengobatan pascaoperasi.
Selaku dosen Kimia Unpad, Imam yang merupakan pencetus dan pembimbing untuk kerjasama tersebut, Lem Fibrin akan sangat berguna mengingat setelah operasi biasanya mereka menggunakan jahitan benang untuk merekatkan luka bekas operasi tersebut. Hal ini sangat menyiksa ketika proses penjahitan dan ketika jahitan tersebut harus dibuka. Dengan metode Lem Fibrin, luka bekas operasi tidak perlu dijahit karena luka tersebut akan merekat sendiri. Lem Fibrin bisa menghasilkan protein pembentuk sel yang berguna untuk merekatkan kulit yang terluka bekas operasi.
Selain bisa dihasilkan dari tubuh kita, Lem Fibrin juga bisa dihasilkan oleh bakteri e-coli, yakni bakteri dari sisa sekresi kita atau bekas-bekas pembuangan seperti tinja dan lain-lain.
Bahaya atau Tidak
Setiap inovasi pasti selalu memiliki dampak baik dan buruk. Inovasi ini membuat kita bisa melihat betapa membantunya metode Lem Fibrin tersebut. Kita tak perlu bersusah payah menggunakan teknik lama dengan menjahit luka bekas operasi tersebut. Selain itu, Lem Fibrin tak hanya digunakan untuk operasi mata, tetapi juga bisa digunakan untuk luka operasi lainya.
Sejauh ini Lem Fibrin hanya bisa dihasilkan oleh bakteri e-coli dan bagian tubuh manusia. Hal ini juga menjadi salah satu kendala. Bakteri e-coli merupakan bakteri dari bekas pembuangan sehingga harus melalui tahapan-tahapan yang sangat intensif agar tidak memberikan dampak yang berbahaya bagi tubuh manusia. (Tiara Sutari)
Langganan:
Komentar (Atom)




