Video

Klasemen

Klasemen

Musisi Jalanan

Jumat, 09 November 2012


Read Post | komentar

Sudut Malam Monumen Perjuangan

Sudut Malam Monumen Perjuangan – Keindahan Monumen Perjuangan yang dibangun pada tahun 1995 untuk mengenang jasa para pahlawan melawan penjajahan Belanda, Kamis (8/11). (Ogie Kurniawan)
Read Post | komentar

Kurangnya Standar Keselamatan Pekerja Bangunan

Tanpa Pengaman – Kamis (8/11), Adi Sholeh (35) seorang pekerja bangunan yang sedang mengelas besi di GOR Pakuan Universitas Padjadjaran untuk pembangunan gedung penunjang pendidikan tanpa menggunakan pengaman. 

Para pekerja bangunan pembangunan gedung penunjang pendidikan di Universitas Padjadjaran tidak memperdulikan pakaian standar keselamatan pekerjaan mereka.

Jatinangor, Sumedang – Seorang pekerja bangunan, Adi Sholeh (35) mengaku tidak mengetahui soal standar keselamatan pekerja bangunan saat proses pembangunan gedung penunjang pendidikan di Gelanggang Olah Raga (GOR) Pakuan Universitas Padjadjaran, Kamis (8/11).

Pembangunan gedung penunjang pendidikan Unpad yang ditandatangani pada tanggal 28 September 2012 lalu, tidak mementingkan keselamatan pekerjanya. “Mandornya lagi nggak ada, dek. Lagi keluar kayaknya” ujar Riyadi, seorang pekerja yang baru saja masuk Rabu (7/11) lalu. Ketidakhadiran mandor pekerja sebagai pengawas pekerjaan, membuat makin bertambahnya kurang perhatian terhadap standar keselamatan pekerja disana.

Para pekerja yang sudah bekerja semenjak tanggal ditandatanganinya kontrak mengaku sudah biasa bekerja dengan keadaan sedemikian rupa. Mereka bekerja tanpa menghiraukan keselamatan mereka. Helm standar pekerja, sarung tangan, rompi pelindung, dan sepatu boots tidak mereka kenakan. Para pekerja tersebut hanya menggunakan baju kaos kerah, celana panjang, dan sepatu biasa.

Ketika ditanya mengenai ketua pelaksana maupun rekomendasi keselamatan dari mandor, para pekerja tersebut tidak mengetahui keberadaan mandor mereka. Hal ini menimbulkan ketidakpastian dalam standar keamanan para pekerja bangunan tersebut.

(Ogie Kurniawan)
Read Post | komentar

Penghargaan Nobel Sastra, Indonesia Kapan?


Sastra bagi negara komunis China sudah mendapat apresiasi lebih dikancah internasional. Hal ini membuktikan kemajuan yang drastis bagi China. Karena baru pertama kali warga negara China, Mo Yan, dan orang China kedua yang terpilih menjadi penerima Penghargaan Nobel Kesusasteraan pada tahun 2012 ini dengan karya-karyanya yang mengubah persepsi orang mengenai realitas kehidupan. Mo Yang juga pernah dituding subversif karena kritik sosial tajam pada karya-karyanya.

Banyak sastrawan kita yang kurang diapresiasi oleh beberapa kalangan penduduk Indonesia. Seperti halnya, kurangnya apresiasi di tingkat SD, SMP, SMA dan bahkan di tingkat perguruan tinggipun sama halnya. Hal ini perlu diperhatikan oleh orang banyak, karena bisa memicu turunnya peringkat Indonesia khususnya di bidang sastra dengan banyak-sedikitnya apresiator dari berbagai kalangan. Namun hal ini perlu dikaji ulang karena berkaitan dengan minat baca. Meskipun sebenarnya banyak sastrawan kita yang memiliki karya-karya yang sudah berhasil meraih penghargaan-penghargaan tertentu, seperti Pramoedya Ananta Toer, dengan beberapa karyanya menembus beberapa penghargaan juga, dan Andrea Hirata, yang sukses dengan Laskar Pelanginya. Kedua sastrawan tersebut sudah mendapat penghargaan secara internasional meskipun tidak mendapatkan Penghargaan Nobel Sastra.

Seorang sastrawan Unpad, Taufik Ampera sangat senang mengikuti berita mengenai Penghargaan Nobel Sastra. Beliau yang saat ini sedang menjadi Dosen Sastra Sunda di Fakultas Ilmu Budaya, Unpad mengikuti alur perkembangan sastra baik negara sendiri maupun negara-negara lainnya, seperti China yang baru-baru ini menerima Penghargaan Nobel Sastra. Beliau sangat ahli dalam mengkaji perihal seputar Penghargaan Nobel Sastra dan karya-karya sastrawan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer dan sastrawan luar seperti Mo Yan yang baru saja tahun 2012 ini menerima Penghargaan Nobel Sastra. Beliau sangat lugas, dan tegas menjawab setiap pertanyaan yang saya lontarkan terkait Penghargaan Nobel Sastra ini. Mari kita simak bagaimana wawancara, Ogie Kurniawan, mahasiswa Jurnalistik Fikom Unpad dengan Taufik Ampera mengenai Penghargaan Nobel Sastra dan perkembangannya di Indonesia.

Apa itu Penghargaan Nobel Kesusasteraan?
Nobel Penghargaan Sastra itu adalah penghargaan tertinggi dan bergengsi untuk bidang sastra di tingkat dunia, karena itu akan memberikan bukti apresiasi atau penghargaan kepada sastrawan di negara-negara dunia ini bahwa mereka sudah menciptakan karya yang dihargai oleh banyak negara. Penghargaan yang cukup penting di luar bidang-bidang lainnya, dan Alhamdulillah nobel itu juga memasukkan sastra sebagai bagian dari penghargaan.

Apakah menurut Bapak, ada kriteria khusus yang disepakati untuk pemilihan penerima Nobel Penghargaan ini?
Tentu saja ada ya, tim penilai juri memiliki kiriteria untuk menentukan karya yang akan dijadikan sebagai apa yang akan diberikan penghargaan. Tapi yang Saya amati, beberapa karya itu ada pertalian dengan tata negara. Seperti cerminan politik, pengarangnnya, latar belakang karya itu sendiri.

Bagaimana tanggapan anda mengenai Mo Yan sebagai penerima Nobel Penghargaan Sastra?
Mo Yan sebagai pengarang China ya, Saya pikir adalah orang yang sangat kritis dalam memberikan realita yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan bisa dituangkan dalam karyanya. Karyanya pun mencerminkan perpaduan antara imajinasi dengan realita berbentuk padu, karyanya banyak menggambarkan atau menceritakan kehidupan yang ada kaitannya dengan latar sejarah, kemudian sosial masyarakatnya. Artinya disini diangkat permasalahan-permasalahan yang kompleks tentang realita manusia. Saya pikir itu merupakan daya kreativitas yang dilatarbelakangi oleh daya kritik pengarang terhadap kenyataan yang ada dan Saya pikir Mo Yan itu adalah pengarang yang memang memiliki bakat yang luar biasa, beberapa karyanya udah diapresiasi, sudah mendapatkan satu penghargaan yaitu karya yang judulnya “Kata”. Kemudian ada karya satu lagi yang diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia dada subur, pantat apa itu, Saya lupa judulnya. Ada penghargaan pengakuan karya Mo Yan serta dia sebagai pengarang.

Ini berarti suatu kemajuan bagi China ya pak dibidang sastra, sedangkan selama ini biasanya juri hanya melirik pada negara-negara Eropa…
Saya justru berkata sebaliknya, bukan kemajuan bagi China, namun itu kemajuan bagi juri. Sudut pandang juri yang dulu lebih berorientasi pada Eropa ternyata ada perubahan sekarang negara-negara lainnya itu perlu dilirik, perlu diapresiasi, karena negara-negara diluar Eropa itu banyak sekali menghasilkan sastrawan yang menghasilkan karya agung monumental. Kemudian ketika memilih China tentu saja ada alasan-alasan lain. Saya pikir disinilah tadi karya itu akan berdekatan dengan tata negara dan politik, kebetulan apa yang digambarkan oleh Mo Yan dalam karyanya juga berkaitan dengan politik. Ketika dia mendapatkan penghargaan, ada satu syarat atau negosiasi yang berkaitan dengan politik, hal itu menarik Saya pikir. Jadi yang ada kemajuan itu Saya pikir diletak juri itu, juri mau mengubah paradigma dalam melihat karya diluar karya-karya Eropa.

Jika dibandingkan karya-karya sastrawan Indonesia dengan karya Mo Yan gimana pak?
Ada satu perbandingan, Pramoedya Ananta Toer, karyanya luar biasa, Pram sudah termasuk pengarang yang produktif. Pram sudah menghasilkan 50 karya, kemudian sudah dialih bahasakan ke 41 bahasa gitu kalo tidak salah. Artinya disitu ada keluarbiasaan dan ada persamaan yang terjadi pada Mo Yan dengan Pram. Mo Yan sempat ditentang dengan karyanya, begitu juga Pram. Dia selalu menyangkut situasi kondisi kenegaraan. Mo Yan pun seperti itu, nah artinya disini ada sesuatu yang bisa diangkat dalam realita itu tentu saja dengan pengolahan imajinasi tersebut. Kalau Saya perbandingkan, artinya sebenarnya Indonesia juga ada sastrawan ada pengarang yang kualitasnya malah lebih lah dari Mo Yan, kalau Pram sudah mendapatkan penghargaan, tahun 1999 Madagaskar, tahun 2000 Jepang, lebih banyak penghargaan yang diterima Pram daripada Mo Yan.

Pramoedya Ananta Toer pernah terpilih sebagai kandidat penerima Nobel Penghargaan Sastra, akan tetapi setelahnya tidak ada lagi, bagaimana tanggapan Bapak?
Saya pikir memang untuk ke nobel itu belum ada pengarang seperti Pram. Namun baru-baru ini ada angin segar pengarang muda, Andrea Hirata. Karyanya bisa menembus 21 negara, bisa menembus penerbit-penerbit yang menerbitkan novel karya sastra yang mendapatkan penghargaan nobel artinya sudah sejajar dengan pengarang yang mendapatkan penghargaan. Artinya Andrea belum mendapatkan hadiah nobel tapi secara umum dia sudah mendapatkan pengakuan secara internasional.  Kalau kedepannya mungkin bisa dijadikan kebanggan bagi Indonesia, sebagai pengarang yang bisa dijadikan pengarang internasional.

Apakah ada prospek kedepan bagi sastrawan Indonesia sebagai kandidat penerima Penghargaan Nobel Sastra?
Ya bisa, artinya ada karya yang diunggulkan. Itu artinya diterima juga oleh negara-negara lain. Bagaimana cara penerimaannya, yaitu negara-negara lain bisa mengalihbahasakan ke berbagai bahasa. Bukan hanya sekedar bahasa Inggris tapi bahasa-bahasa asing lainnya. Sehingga mendapatkan pengakuan. Kalau semua itu sudah dilakukan, artinya karya Indonesia sudah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain, semakin banyak dibaca semakin banyak di apresiasi. Dan ada masukan ke panitia juri tentang karya yang diunggulkan itu langkah-langkah yang bisa dilakukan. Artinya karya-karya yang diunggulkan yaitu juga merupakan tugas penerbit di Indonesia yang bekerja sama dengan penerbit di luar kemudian juga pemerintah melalui departemen tertentu bagaimana mempublikasikan, mengedarkan karya anak bangsa diluar, gitu ya. Sekarang kan banyak kegiatan-kegiatan ditingkat internasional yang ada kaitannya dengan pengenalan kebudayaan, salah satunya coba kita kenalkan karya-karya yang ada di Indonesia.

Apa upaya sastrawan Indonesia agar semua itu terealisasikan dengan baik?
Sastrawan seharusnya juga banyak belajar dari karya-karya dari luar. Artinya kita bisa mengolah lebih banyak dengan perkembangan-perkembangan dari sudut penceritaan, tema-tema yang diambil, pengolahan imajinasi, bagaimana menemukan dan mengangkat realita yang ada ke dalam fiksi, itu seharusnya lebih banyak dipelajari. Kemudian juga kaitannya dengan perkembangan teknologi juga, seharusnya dikaitkan dengan dengan sastra ya. Jadi sastra bukan hanya dalam bentuk buku, tapi bagaimana sastra bisa diahlihkan dengan teknologi. Saya pikir itu akan lebih membuka peluang untuk dibaca oleh masyarakat luar. Masyarakat di negara-negara lain sisanya dengan elektronik, dan media lainnya. Dan juga harus dipikirkan agar karya anak bangsa ini hak ciptanya bisa dihargai.

Menurut Bapak, apa kekurangan kita berdasarkan sastra itu sendiri atau disudut pandang sastrawannya?
Apresiasi sastra sangat lemah sekali. Kalau karya sastra Saya pikir sudah ada sudah banyak sudah cukup untuk dibaca oleh masyarakat, tapi apresiasi masyarakat terhadap sastra itu masih kurang. Jadi bagaimana sekarang pekerjaan kita menumbuhkan apresiasi. Saya pikir masih lemah apresiasi ditingkat SD, SMP, SMA malah perguruan tinggi juga terutama yang belajar di Fakultas Sastra, kemudian yang menyebabkan itu tentu saja ada kaitannya dengan minat baca yaitu bagaimana kita bisa menghargai bisa mengapresiasi bisa membaca karya sastra kalau tidak ada minat baca. Ya upaya-upaya seperti itulah masyarakat tentunya harus lebih berbakat.

Kalau untuk kepengarangannya bagaimana pak?
Kalau untuk kepengarangan dewasa ini di Indonesia banyak lah pengarang-pengarang muda yang sudah menghasilkan karya-klarya yang bisa diunggulkan baik itu pengarang-pengarang perempuan ataupun pengarang laki-laki. Jadi tampaknya disini tidak didominasi oleh laki-laki saja tapi juga perempuan. Dan juga ada karya Mo Yan yang sudah difilmkan, yang judulnya Saya lupa. Itu membuktikan karya-karya Mo Yan ini sangat berkelas ya dibidangnya.

Apakah dari Fakultas Sastra Unpad ada bakat-bakat yang sudah mulai kelihatan untuk menjadi sastrawan?
Untuk sekarang sih Saya lihat ada, cuman mereka masih butuh pembelajaran yang pas. Artinya disini mereka harus lebih banyak membaca karya-karya sastrawan baik luar maupun dalam negeri. Dengan begitu mereka akan terlatih untuk membuat karangan-karangan yang bersifat atau bernilai sastra.

(Rahmat Ogie Kurniawan)

Read Post | komentar (1)

Bermain Sambil Belajar Bersama

Berbaur - Seorang panitia Galaksi dari Humas 2011 mendampingi para siswa-siswi SDN Neglasari Jatinangor untuk bermain sambil belajar, Jumat (9/11).  Acara yang berlangsung sejak pukul 15.00-17.30 WIB ini berjalan dengan lancar.

Jatinangor, Sumedang – Jumat (9/11), sebuah acara dengan unsur bermain dan pendidikan diadakan di Lapangan Ex-Kopma Universitas Padjadjaran oleh mahasiswa dan mahasiswi Departemen Ilmu Hubungan Masyarakat (Humas), Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Fikom Unpad) angkatan 2011. Acara yang diberi judul Gembira Belajar dan Beraksi (Galaksi) adalah bagian dari rangkaian orientasi yang dijalani oleh mereka, yakni Public Relations Orientation (PRO) 2012.

Humas angkatan 2011 diberikan kesempatan untuk membuat dua event angkatan yang mengharuskan mereka untuk memisahkan diri ke dalam dua kelompok, yakni social event dan gathering event. Sehari sebelumnya, event bernama Maroonation telah berlangsung di Aula Moestopo, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Fikom Unpad).

“Galaksi ini adalah satu rangkaian itu, ini adalah social event angkatan,” ujar Alf Ghibran, ketua event Galaksi. Sebelumnya, para panitia telah melakukan fact finding dan menemukan bahwa kadar kebahagiaan anak-anak di Jatinangor rendah. “Contohnya di Ciseke dan TPU Gajah. Di Ciseke, tempat sampah dibuat sebagai tempat bermain. Itu miris banget kalau gue lihat, buat main bola pula. Di TPU Gajah juga sama, tempat itu dipakai sebagai tempat bermain mereka,” jelas pria kelahiran Malang, 10 Oktober 1992 ini.

Konsep acara Galaksi ini sendiri adalah fun learning with children, bermain sambil belajar dengan anak-anak. Semua elemen dalam pelaksanaan acara ini, baik panitia, peserta, maupun para panitia PRO 2012 sendiri, bersatu dan bersenang-senang. “Kita juga bisa mengenang masa kecil kita,” ucap pria yang akrab dipanggil Jawa.

Peserta yang mengikuti rangkaian acara dari pukul 15.00 WIB ini adalah murid-murid SDN Neglasari Jatinangor dan anak-anak dari Panti Asuhan Yayasan Riyadlul Jannah. Jawa beralasan bahwa pemilihan SD ini melihat gedung sekolah yang digunakan bangunnanya tak layak disebut tempat belajar. Sedangkan panti asuhan dipilih karena Humas 2011 ingin membahagiakan anak-anak yang tak lagi memiliki ayah dan ibu dengan apa yang mereka punya.

Alf Ghibran memuji teman-teman Humas 2011-nya yang bekerja dengan sangat asyik sehingga persiapan acara ini sangatlah lancar. Respon yang mereka dapatkan dari masyarakat sekitar juga baik. Salah satu pengurus Hima Humas, Dzulkifli Nurindra Surachman, dari Humas 2010, anggota Divisi Media menilai bahwa acara ini berhasil. “Daripada tahun-tahun sebelumnya, acara ini lebih ramai dan kayaknya semuanya lebih berpartisipasi, baik panitia maupun nonpanitia.”

(Rizky Nawan Putra Lubis)
Read Post | komentar

Rumah Di Seribu Ombak

Kamis, 08 November 2012




Judul           : Rumah Di Seribu Ombak
Pengarang    : Erwin Arnada
Penerbit      : Gagas Media
Halaman       : 387
Dimensi        : 14.5 x 21 cm


“ Tahukah kau mengapa Tuhan menciptakan langit dan laut? Semata agar kita tahu, dalam perbedaan, ada batas yang membuat mereka tampak indah dipandang.”
"Rumah Di Seribu Ombak" bercerita tentang perahabatan dua orang anak laki-laki, Samihi dan Wayan Manik. Meski usia, kepercayaan, dan latar belakang mereka berbeda, perbedaan-perbedaan tersebut justru menyatukan mereka. Mereka berdua tinggal di sebuah desa kecil di kawasan Singaraja, Bali, yang bernama Kalidukuh. Perbedaan memang bukan hal yang besar di Desa Kalidukuh, di desa inilah warga beragama Islam dan Hindu hidup berdampingan dengan rukun dan damai. Samihi dibesarkan dalam lingkungan keluarga Muslim, sedangkan Yanik, sapaan akrab Wayan Manik, dibesarkan dengan lingkungan keluarga Hindu.

Buku karya Erwin Arnada ini dikemas secara apik sehingga menggugah emosi pembaca. Diceritakan perjuangan Samihi dan Yanik dalam mengejar mimpi-mimpi mereka masing-masing. Persahabatan mereka pun seringkali diuji dengan konflik-konflik menarik yang terkadang menimbulkan pertengkaran kecil di antara mereka.

Ujian terberat bagi persahabatan mereka ialah ketika Samihi membocorkan rahasia Yanik kepada Ketua Adat di desa mereka. Masih merasa kecewa dengan perbuatan Samihi itu, Yanik kembali diuji dengan adanya Tragedi Bom Bali yang menewaskan ayah kandungnya.

Kejadian-kejadian tersebut akhirnya membuat Yanik berkeputusan untuk pergi meninggalkan Desa Kalidukuh. Samihi benar-benar menyesal dengan kejadian itu, ia berusaha mencegah kepergian Yanik, tetapi hal itu sia-sia. Apakah persahabatan yang telah mereka jalin selama ini hancur karena kejadian-kejadian tersebut?

Buku ini banyak memberikan pelajaran bagi pembacanya, mulai dari persahabatan, mimpi, cinta, bahkan pluralisme beragama.

(Mentari Chairunisa) 
Read Post | komentar

Komunitas Reptil Bandung: Tahu, Mengenal, dan Peduli


Banyak orang yang mengatakan bahwa reptil adalah hewan yang buas dan menjijikkan. Tunggu dulu, kenyataannya reptil bisa menjadi hewan peliharaan yang jinak seperti halnya kucing dan juga anjing. Komunitas Reptil Bandung (KRB) tengah melakukan ‘promosi’ gencar-gencaran mengenai kelayakan reptil untuk dijadikan hewan peliharaan ini. “Dulu, kita pernah nyoba bawa reptil jalan-jalan di Ciwalk, tapi ternyata kita diusir, padahal Ciwalk itu termasuk pet-mall,” ujar Tema Datresta, ketua KRB.


Fakta-fakta yang mengungkap bahwa reptil masih dipandang sebelah mata itulah yang membuat KRB bertekad untuk memasyarakatkan reptil. Untuk mewujudkan tekad tersebut, KRB mulai melakukan sosialisasi mengenai reptil di acara-acara yang diselenggarakan di Kota Bandung. Selain membuka stan di acara-acara tersebut, KRB juga rutin mengadakan sosialisasi di Car Free Day (CFD) setiap Minggu. Mereka biasanya membawa reptil-reptil peliharaan mereka, seperti biawak, ular, dan iguana agar orang-orang mulai menjadi terbiasa dengan reptil.

Banyak yang tidak menyadari bahwa reptil sebenarnya adalah aset berharga yang dimiliki Indonesia. Reptil terbesar di dunia berada di Indonesia, yakni komodo. Hal ini menjelaskan bahwa seharusnya Indonesia, baik pemerintah maupun masyarakatnya, turut andil melestarikan hewan tersebut. Mulai peduli dengan kehidupan reptil-reptil di luar sana.

“Di Indonesia, reptil patut untuk dibanggakan. Orang-orang mancanegara banyak yang datang ke sini untuk mengenal reptil lebih jauh,” papar Tema. Selain komodo, reptil lain di Indonesia yang patut dibanggakan ialah ular sanca kembang. “Mungkin orang cuma tahu kalau ular terbesar di dunia itu phyton, tapi enggak banyak dari mereka yang tahu kalau ular terpanjang di dunia itu ada di Indonesia, yaitu ular sanca kembang,” tambah Tema.

Aset-aset seperti itulah yang seharusnya patut kita jaga dan kita lestarikan, kita pun juga patut berbangga dengan adanya reptil-reptil tersebut yang sebenarnya bisa dijadikan objek wisata. Namun, sayang,masyarakat masih banyak yang memandang reptil sebelah mata, terlebih lagi, pemerintah pun dirasa kurang begitu peduli dengan hal ini.

Menyebarkan Edukasi, Melalui Sosialisasi

Selain melakukan sosialisasi terhadap reptil, KRB juga menyelipkan sisi edukasi tentang reptil kepada masyarakat. “Edukasi yang kami lakukan itu berupa sosialisasi kepada masyarakat mengenai berbagai macam reptil yang berasal dari Indonesia dan juga luar Indonesia,” ujar Tema. Menurutnya, edukasi itu penting agar masyarakat mulai tahu, mengenal, dan juga peduli terhadap reptil.

Biasanya, materi-materi edukasi yang diberikan cukup beragam dan terbagi menjadi beberapa kelas. Kelas-kelas tersebut membantu para masyarakat yang ingin belajar atau pun bertanya mengenai reptil, kelas-kelas tersebut ialah kelas pemula menengah, dan mahir. Dalam edukasi kelas pemula, biasanya hanya dijelaskan mengenai jenis-jenis reptil dan bagaimana cara pemeliharaannya saja.

Edukasi pemula biasanya diberikan kepada masyarakat awam. Edukasi menengah berisikan materi mengenai cara beternak reptil dan juga perkembangbiakannya. Sedangkan materi mahir berisikan bukan materi-materi ringan untuk para penggila reptil. Edukasi yang mereka berikan biasanya tak berbatas usia, mereka melakukan sosialisasi edukasi itu terhadap semua kalangan, mulai anak-anak, remaja, hingga dewasa. “Kalau untuk anak SD, sih, kita lebih menjelaskan dengan contoh. Misalnya, kalau ular di sawah terus dibunuh, maka populasi tikus akan bertambah dan juga akan mengakibatkan padi yang terus menipis,” papar Tema.

Selain melakukan edukasi kepada masyarakat, mereka juga saling bertukar informasi antar sesama komunitas reptil, seperti Komunitas Reptil Cimahi, Komunitas Reptil Jatinangor, Komunitas Reptil Garut, dan lainnya. Dengan dilakukannya sharing informasi tersebut, KRB berharap dapat menambah akrab jalinan komunitas-komunitas reptil yang ada.

Selain melakukan sosialisasi tersebut, KRB juga mengadakan kontes-kontes reptil untuk menarik minat dan perhatian orang-orang. Di samping itu, kontes tersebut diharapkan dapat mempertemukan para pecinta reptil satu sama lain. KRB pun terus berupaya agar masyarakat tak lagi menganggap bahwa reptil adalah binatang buas dan menjijikkan.

Mengapa Reptil?

Reptil saat ini masih suka dipandang sebelah mata oleh masyarakat, mereka pun masih enggan memikirkan hewan tersebut untuk dijadikan hewan peliharaan. Namun, Tema dan kawan-kawan dari KRB justru telah dibuat jatuh cinta dengan hewan tersebut. “Pelihara reptil itu enggak ribet karena makannya hanya sekali dalam seminggu. Selain itu, dari segi waktu dan juga budget lebih ringan dibanding memelihara hewan lainnya,” ujar Tema.

Selain alasan itu, mereka juga senang bergelut di dunia reptil karena kekeluargaan yang terbina di antara sesama pecinta reptil. “Reptil itu ruang lingkupnya kecil, tetapi solid. Gampang menyebar di mana-mana,” tambah Tema. Alasan-alasan itulah yang membuat mereka tetap bertahan untuk mencintai reptil. Upaya mereka pun ternyata membuahkan hasil. Pada awalnya, di daerah Bandung sendiri hanya memiliki tiga komunitas reptil, salah satunya ialah KRB yang merupakan komunitas terbesar. Namun, seiring berjalannya waktu, saat ini mulai banyak bermunculan komunitas-komunitas reptil yang lain yang bahkan tersebar di wilayah-wilayah sekitaran Bandung.

Dengan bermunculannya komunitas-komunitas reptil tersebut sperti memberikan angin segar di dunia reptil, karena menurut mereka, komunitas lebih potensial menjaga satwa, dalam hal ini reptil, ketimbang pemerintah.

(Mentari Chairunisa) 
Read Post | komentar (1)

Lebih Dekat dengan Soekarno melalui Wawancara Imajiner


Jatinangor, Sumedang - Himpunan Mahasiswa Ilmu Pemerintahan (HIMA IP) Universitas Padjadjaran (Unpad, Kamis (8/11) menyelenggarakan acara bedah buku “Wawancara Imajiner dengan Bung Karno” karya Christianto Wibisono. Dalam acara yang dilaksanakan di Gedung IP Unpad ini hadir pula Christianto Wibisono sebagai pembicara. “Kegiatan diselenggarakan supaya membangkitkan semangat muda. Ini loh pahlawan kita yang dulu sempat membangun Indonesia ini,” ujar Putra Padewa, anggota Kementrian Pengawasan IP 2011.


Pada kesempatan itu, Christianto Wibisono berbagi kisah pengalamannya bersama dengan presiden pertama Republik Indonesia itu. Dalam buku yang sempat dibredel pada tahun 70-an itu, Christianto melakukan wawancara imajiner dengan Soekarno. “Wawancara imajiner ini bukan menggunakan kekuatan supranatural, tetapi saya berperan ganda, menjadi diri sendiri, dan menjadi Presiden Soekarno,” papar pria kelahiran Semarang, 10 Agustus 1945 ini.


Panitia berharap, dengan adanya acara ini dapat menumbuhkan rasa nasionalisme anak-anak Indonesia saat ini. “Mengutip kata Presiden Soekarno, jangan sekali-kali melupakan sejarah, karena itu kita buat acara ini sekaligus memperingati Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober kemarin dan Hari Pahlawan 10 November nanti,” ujar Putri Rayustika, anggota Kementrian Pendidikan dan Penalaran HIMA IP 2011.

Dalam kesempatan itu, Christianto sempat mengemukakan pendapatnya mengenai kehidupan politik Indonesia pada masa lalu hingga saat ini, “Sebenarnya, banyak orang kita yang hebat, berkelas dunia, tapi dijegal terus, nggak sportif. Itu yang bikin Indonesia nggak maju,” ujarnya.

Dalam bedah buku yang berlangsung sekitar empat jam tersebut hadir pula sebagai pembicara Iman Soleh, dosen Ilmu Pemerintahan, dan juga Andi M. Nurdin, mahasiswa Ilmu Pemerintahan. Sayangnya, Budiarto Shambazy, wartawan Kompas, berhalangan hadir pada saat itu. “Pak Budiarto Shambazy berhalangan hadir karena ia mendapatkan tugas untuk meliput pemilu presiden di Amerika Serikat,” ujar moderator. Acara bedah buku ini sekaligus merupakan rangakaian Dies Natalis Ilmu Pemerintahan Unpad yang jatuh pada Februari 2013 mendatang. 

(Mentari Chairunisa)
Read Post | komentar

Teh Minuman Kesehatan



Teh hijau, jenis teh tertua, amat disukai terutama oleh masyarakat Jepang dan Cina. Di sini daun teh mengalami sedikit proses pengolahan berbentuk pemanasan dan pengeringan sehingga warna hijau daun dapat dipertahankan. Sedangkan teh Oolong lebih merupakan jenis peralihan antara teh hitam dan teh hijau. Ketiga jenis teh masing-masing memiliki khasiat kesehatan karena mengandung ikatan biokimia yang disebut polyfenol, termasuk di dalamnya flavonoid. Flavonoid merupakan suatu kelompok antioksidan yang secara alamiah ada di dalam sayur-sayuran, buah-buahan, dan minuman seperti teh dan anggur.

Subklas polifenol meliputi flavonol, flavon, flavanon, antosianidin, katekin, dan biflavan. Turunan dari katekin seperti epi-cathecin (EC), epigallo-cathecin (EGC), epigallo-cathecin gallate (EGCg), dan quercetin umumnya ditemukan di dalam teh. EGCg dan quercetin merupakan antioksidan kuat dengan kekuatan hingga 4-5 kali lebih tinggi dibandingkan vitamin E dan C yang juga merupakan antioksidan potensial. Antioksidan diketahui mampu menghindarkan sel dari kerusakan mengingat setiap kerusakan sel akan menyumbang lebih dari 50 penyakit. Teh hijau mengandung EGCg, demikian juga teh hitam.

Dalam sebuah studi yang dilakukan peneliti Belanda menyebutkan, mengkonsumsi 4-5 cangkir teh hitam setiap hari akan menurunkan resiko stroke hingga 70% dibanding dengan mereka yang mengkonsumsi teh 2 cangkir sehari atau kurang. Laporan lainnya menyebutkan lebih banyak mengkonsumsi teh hitam berhubungan dengan rendahnya kasus serangan jantung.

John Folts, Direktur Sekolah Medis, Pusat Penelitian dan Pencegahan Arteri Trombosis, Universitas Wisconsin, AS menemukan kunci khasiat dalam teh yaitu flavonoid. Hasil penelitiannya menunjukkan, flavonoid dalam teh hitam mampu menghambat penggumpalan sel-sel platelet darah sehingga mencegah penyumbatan pembuluh darah pada penyakit hantung koroner dan stroke. Studi lain menyebutkan bahwa peminum teh fanatik memiliki kadar kolesterol dan tekanan darah yang rendah, meskipun masih belum jelas apakah semuanya itu langsung disebabkan karena teh.

Penelitian di Jepang menunjukkan, daerah penghasil teh yang penduduknya terkenal sebagai peminum teh fanatik, sangat rendah angka kematiannya yang disebabkan oleh kanker. Hasil studi lainnya, dilakukan kerjasama antara tim peneliti Oguni dan pusat penelitian kanker di Beijing untuk mempelajari pengaruh ekstrak teh hijau pada tikus yang telah diberi ransum makanan karsinogenik (zat pemicu kanker). Dilaporkan, angka rata-rata kanker pada tikus yang memperoleh ekstrak teh hijau setengah dari tikus yang tidak memperoleh ekstrak teh hijau. 

(Laura Laurenza)
Read Post | komentar

Percuma Memikirkan HAM saat Kita Belum Makan


Jumat (12/10) yang lalu, Ketua Komite Nobel Norwegia Thorbjoern Jagland mengumumkan bahwa peraih Nobel Perdamaian adalah Uni Eropa (UE). Nobel Perdamaian ini diberikan kepada UE karena organisasi multi-nasional ini selama enam dekade telah berhasil berkontribusi pada perdamaian dan rekonsiliasi, demokrasi dan hak-hak asasi di Eropa. Selain itu UE juga berhasil membangun ekonomi dari abu Perang Dunia II.

Namun, pemberian Nobel Perdamaian kepada UE di saat krisis ekonomi melanda Eropa ini tak lepas dari kritikan oleh beberapa pihak. Heming Olaussen misalnya, pemimpin organisasi anti-keanggotaan UE ini menyatakan bahwa justru UE-lah penyebab merosotnya ekonomi di Eropa. Serta ada pula kritikan adanya indikasi politisasi dalam pemberian Nobel Perdamaian. Untuk mengetahui lebih jauh tentang polemik dalam pemberian nobel ini, pada Jumat (2/11), Andreas Yanu Kristiawan, mencoba mewawancarai dosen pascasarjana Hubungan Internasional, Dr. Arry Bainus, M.A. di salah satu ruang kelas di Gedung E Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran, Bandung.


Seperti yang kita tahu UE meraih Nobel Perdamaian saat krisis ekonomi melanda Eropa, berpengaruhkah penerimaan Nobel Perdamaian ini dengan krisis yang sekarang sedang dialami?
Secara tidak langsung tentu saja, namun konteksnya yang berbeda. Masalah ekonomi itu timbul karena persoalan internal dari beberapa negara yang dianggap perekonomiannya tidak bisa memadai dan tumbuh berkembang seperti negara-negara UE yang lain. Namun, pemberian hadiah Nobel ini tidak bisa dilihat dari segi ekonomi. UE mendapat Nobel karena berhasil mempertahankan keamanan di daerah Balkan seperti Kosovo dan Albania.

Namun disebutkan di surat kabar salah satu alasan kenapa UE mendapatkan Nobel adalah karena telah berhasil membangun ekonomi semenjak Perang Dunia II dan perang dingin . . .
Ya, memang betul UE adalah success story yang berdiri setelah Perang Dunia. Negara-negara Eropa saat itu terpuruk semua. Namun berangkat dari tambang batubara dan besi atas kerjasama antara Perancis dan Jerman Barat, UE mulai bangkit. UE berdiri bukan hanya memacu pertumbuhan ekonomi, memang pada awalnya membangun perekonomian, tapi juga kemudian berimbas pada kemampuan melanggengkan perdamaian yang panjang. Walaupun ada perang dingin, namun UE berhasil meredam hingga tidak terjadi perang terbuka.

Jadi secara tidak langsung kesejahteraan ekonomi mempengaruhi perdamaian?
Ya iya. Namun bisa dilihat bahwa walaupun tidak bisa langsung mengatakan suatu negara yang masuk ke UE tidak bisa secara langsung meningkat ekonominya. Tetap saja Spanyol tidak bisa menyetarakan ekonominya dengan Jerman, Perancis atau Inggris. Apalagi dengan negara-negara Eropa Timur yang baru saja masuk. Makanya kesulitan mereka adalah menyetarakan hal itu.

Banyak sekali kritik terhadap pemberian Nobel ini. Salah satunya adalah kritik berpartisipasinya beberapa anggota UE dalam agresi NATO di Timur Tengah, hal ini bertentangan dengan surat wasiat Alfred Nobel. Apa hal itu tidak dipertimbangkan?
Saya kira pernyataan Alfred Nobel tentang pengurangan tentara sudah banyak dilakukan oleh negara-negara Eropa. Karena negara-negara Eropa sekarang berpikirnya begini, contohnya Belanda, daripada membangun tentaranya sendirian, lebih baik melebur di dalam NATO. Ketika melebur di dalam NATO inilah efisiensi terjadi. Negara-negara itu sedang mengurangi jumlah tentaranya, mengurangi anggaran militernya, tapi diefisiensikan. Nah, omongan Alfred Nobel itu telah terjadi sebenarnya. Lalu belum tentu semua negara UE yang tergabung dalam NATO serentak mendukung NATO. Lihat saja saat di Afghanistan, ada delegasi NATO dari UE yang tidak menyetujuinya.

Berdasarkan kritik-kritik itu, menurut Anda seperti apa indikator kelayakan penerima Nobel Perdamaian jika dilihat dari kondisi politik dan keamanan internasional saat ini?
Menurut saya, kita harus balik ke ucapan Nobel, bahwa Nobel ini harus diabdikan ke nilai-nilai kemanusiaan. Entah nilai kemanusian itu dapat dilihat secara fisik atau biologis, maka orang kedokteran dan ekonomi yang melihat bagaimana kesejahteraan dan kesehatan manusia. Termasuk pada perdamaian, dilihat lagi indikator nilai kemanusian itu adalah manusia itu sendiri. Dalam artian jati dirinya dan nilai-nilai hak asasi manusia. Jadi sah-sah saja  perseorangan ataupun organisasi internasional maupun lokal yang membaktikan dirinya pada nilai-nilai kemanusian itu dimungkinkan bisa menang.

Lalu apa saja peran konkrit UE dalam penerapan nilai-nilai kemanusiaan ini?
Contoh, Den Haag adalah sumbernya hukum yang banyak berkiprah dalam membincangkan hak-hak asasi manusia. Di Inggris ada Amnesti Internasional. Swiss dan Austria, mereka mengantarkan perpindahan rezim yang dulunya otoriter di Eropa Timur, Amerika Latin dan juga Indonesia dengan konsep security sector reform, itu semua adalah masalah hak asasi manusia. Juga tadi kasus Kosovo, UE berperan hingga tidak terjadi genosida di situ. Kalau memang ada indikator yang dimunculkan oleh UE, layak dia memperoleh Nobel.

Jadi Anda mematahkan kritik-kritik yang dilontarkan kepada UE?
Iya tentu saja. UE memang layak mendapatkan Nobel Perdamaian. Walau bagaimanapun kritik itu memang perlu. Supaya bahwa hadiah Nobel itu memang layak untuk UE. Tidak sembarang mendapat hadiah tanpa effort (upaya), sehingga bisa dibuktikan oleh mereka. Itu pertama, yang kedua untuk jurinya sendiri. Untuk masa yang akan datang tidak bisa semena-mena untuk memilih berdasarkan kriteria ini, taat dan patuh pada itu. Sehingga nanti tidak sampai ada kritik lagi.

Kritik adanya indikasi politisasi untuk meningkatkan citra UE di masa krisis ekonomi ini juga terpatahkan?
Ya tentu saja itu patah. Kan dari awal pemberian Nobel ini tidak ada kaitannya dengan krisis ekonomi.

Melihat ke Indonesia, selama ini belum pernah ada individu atau organisasi dari Indonesia yang meraih Nobel Perdamaian. Apakah untuk tahun depan ada potensi bagi Indonesia untuk meraih Nobel ini?
Menurut saya ada beberapa kemungkinan orang atau organisasi meraih Nobel di negara berkembang. Pada kasus tertentu ada permasalahan yang berkaitan dengan hak asasi manusia, kemudian ada organsiasi atau orang yang menyuarakan dengan keras ketika ada pelanggaran HAM. Almarhum Munir misalnya, ia bisa mendapat Nobel jika dapat dibuktikan ia meninggal karena ada persoalan dengan HAM yang notabene berbentrokan dengan rezim, dia bisa menang untuk itu. Yang kedua kalau ada konflik yang bisa diselesaikan, kemarin ada yang menyuarakan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) atau JK (Jusuf Kalla) bisa menang atas perdamaian dengan GAM. Namun masalahnya adalah di Indonesia ini belum ada elemen yang utuh tentang hak asasi itu sendiri. Contohnya tentara, kelompok Islam dan lain-lain, kan tidak semua persepsi atas hak asasi manusia itu sama. Tapi saya jamin suatu saat di Indonesia ada yang konsisten dalam menyuarakan HAM. Tapi tentu saja punya level internasional.

Jadi apakah sekarang sudah ada orang Indonesia yang bergerak di kancah internasional?
Sebenarnya sih sudah ada, cuma ya selalu kalah, kalah karena ada masalah. Contohnya SBY, nggak mungkin panitia memenangkan SBY, karena SBY dulunya adalah tentara, tentara pada masa Orde Baru sudah dicap sedemikian rupa. Walaupun SBY sedemikian demokrat, namun tetap saja dilihat dari masa lalu bagaimana dia, belum konsisten jadinya. Harusnya yang konsisten dari ujung ke ujung, seperti Nelson Mandela misalnya yang berani dipenjara untuk menyuarakan HAM selama bertahun-tahun, jadi layaklah dia.

Lalu apa peluang Indonesia? Indonesia dapat memulainya dari mana?
Indonesia punya peluang di konflik di Laut Cina Selatan. Jika Indonesia sampai bisa memediasi tidak terjadi konflik dan perang bahkan. Wah, itu akan mendapat acungan jempol di internasional. Ironinya, Indonesia sendiri diganggu dengan persoalan-persoalan HAM yang sangat elementer. Contoh, banyak sekali masalah karena perbedaan agama. Gimana kita bisa menang Nobel jika ada persoalan dalam negeri yang sangat elementer? Mulai dari jenderal hingga guru besar banyak yang begitu.

Jadi harus mengentaskan isu SARA terlebih dahulu?
Untuk SARA jelas, di Indonesia peluang isu SARA sangat besar. Namun tidak sekedar SARA, masalah korupsi belum selesai, masalah keadilan masih ada, masih banyak orang yang makan nasi aking. Indonesia banyak orang kaya, ada 25 juta orang. Namun ya yang miskin tentu lebih banyak, besar sekali gap-nya. Boro-boro menyelesaikan isu SARA saat masalah ekonomi di Indonesia sendiri belum beres. Percuma memikirkan HAM saat kita belum makan. 

(Andreas Yanu Kristiawan)
Read Post | komentar

Tarian Jepang, Cita Rasa Indonesia


Odori adalah kata yang diambil dari bahasa Jepang yang memiliki arti menari atau tarian. Odori sendiri menjadi nama dari kelompok seni tari yang berasal dari mahasiswa Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran (FIB Unpad). Keunikan dari klub tari ini adalah mereka menarikan gerakan-gerakan tari Jepang dan mengkreasikannya dengan tarian Indonesia. Hal ini tentu saja tidak mudah. Sebab kedua tarian ini memiliki ciri khas masing-masing dan karakteristik tersendiri.

Menurut Aci (20), koordinator klub Odori, hal yang paling sulit adalah menggabungkannya. Entah itu dari segi musik maupun dari segi tariannya. Dari segi gerakan tari misalnya, tarian jepang mengintepretasikan penggambaran suasana dalam setiap detail-detail gerakannya. Misalnya, dalam tarian klasik Jepang, ekspresi sedih tidak digambarkan dengan ekspresi wajah. Namun melalui gerakan-gerakan kesedihan. Berbeda dengan gerakan tari Indonesia yang lebih mengutamakan keselarasan dengan suara musik dan keindahan setiap detil gerakannya.  Ini menjadi tantangan tersendiri bagi Aci dan para anggota Odor. Mereka berusaha menyesuaikan tarian dengan tempo tarian yang ada. Misalnya tari Jaipong yang berirama cepat dipadu dengan tarian rakyat Jepang yang bertempo sama sehingga muncul keunikan dari tari ini.

Kegiatan mereka ini mendapat sambutan menarik dari banyak pihak. Klub ini juga sudah meraih prestasi. Mereka baru saja memenangi juara Harapan I dalam Lomba Bunkashai se-Jawa Barat 2011 dengan menampilkan tarian Jepang, Shoran Boshi, dan mengakulturasikannya dengan salah satu tarian dari Sumatera.

Menurut Aci, alasannya dan teman-temannya memang untuk mengembangkan potensi mahasiswa Jastra jepang di bidang seni tari. “Karena kita mahasiswa Sastra Jepang, kebudayaan yang dikembangkan adalah budaya Jepang. Tapi tentu aja kita nggak bisa melupakan aspek budaya Indonesia,” ujarnya. Memasukkan konsep tari Indonesia juga merupakan bentuk dari kecintaan mereka terhadap budaya Indonesia.

Untuk program kerja selanjutnya, mereka akan membuat campuran kreasi tarinya dengan tarian Indonesia dari daerah lain. “Mungkin selanjutnya bakal diambil dari tarian Sunda yang lebih enerjik,” ungkap Aci. 

(Hella Pristiwaningsih)
Read Post | komentar

K3S: Komunikasi Adalah Bagian dari Budaya


Komunikasi adalah asal muasal sebuah budaya itu lahir. Seperti itulah yang dijadikan dasar berdirinya Komunitas Suka Seni Sunda (K3S). Sebuah komunitas seni sunda yang didirikan di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Fikom Unpad). Komunitas ini sekilas memang bergerak di bidang seni budaya. Namun, perbedaan mereka dari komunitas seni sunda lain terletak pada basis komunikasi yang diterapkan dalam organisasi ini. Tidak hanya belajar serta mementaskan musik dan tari, tetapi banyak aspek komunikasi yang diterapkan.

Para anggota K3S juga diberikan bekal untuk mengolah sebuah kegiatan (event organizer) pementasan seni dan cara-cara membuat dokumentasi seperti fotografi dan video dokumentasi. Menurut Samson, selaku pembina K3S, ide ini berawal dari potensi tinggi dari para mahasiswa Fikom Unpad dengan budaya lokal, khususnya budaya Sunda. “Selama ini mahasiswa Fikom itu banyak yang aktif di dalam kegiatan seni. Tapi kurang mendapat sorotan dan perhatian dari lingkungan Fikom,” ujarnya.

Dalam pendirian K3S ini, ia mengharapkan anggotanya untuk lebih mengembangkan sivitas pengetahuan akan budaya, metode pelatihan, pengenalan dan apresiasi. Apresiasi yang diterapkan disini adalah dari segi budaya dan komunikasi. “Misalnya saat kita menari, ada aspek komunikasi yang kita apresiasikan. Yaitu gerakan-gerakan nonverbal. Ekspresi, penjiwaan dan lemah gemulainya gerakan tari. Sehingga menghasilkan sesuatu yang indah. Dan keindahan itu adalah seni. Mungkin seperti itu contoh kecilnya,” ujar dosen Fikom Unpad jurusan Ilmu Perpustakaan Fikom Unpad ini.

Bukan hanya itu saja. Menurut Samson, dalam sebuah apresiasi seni tidak bertugas sebagai orang yang mengapresiasikan saja, namun disitu terdapat sebuah interaksi pesan antara pementas seni dan juga penonton yang menyaksikannya. Sehingga terjadi sebuah timbal balik antar penggiat seni dan penikmat seni itu. Hal itu sesuai dengan prinsip-prinsip komunikasi. Komunikasi juga dekat dengan media, sehingga untuk kedepan K3S diharapkan dapat membuat sebuah media kecil yang dapat menampung kegiatan seni ini.

(Hella Pristiwaningsih)
Read Post | komentar

Partner untuk Lem Fibrin




Mencari Partner Bukan Perkara Mudah

Mencari partner untuk bekerja sama memang bukan perkara mudah, apalagi dalam bidang keilmuan yang jelas-jelas aplikasinya berbeda. Itulah yang dirasakan oleh Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran (FMIPA Unpad), khususnya Jurusan Kimia. Kesulitan benar-benar dirasakan oleh Dr. Imam Permana, bukan sekali dua kali penelitiannya ditolak.

Penolakan pertama terjadi sekitar tiga tahun yang lalu. Saat itu ia mengajukan kerja sama dengan Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung. Ikatan RSHS dengan Unpad yang terjalin sedemikian erat dan bagus membuat ia tak pernah menyangka penelitiannya mengenai molekul penyebab katarak akan ditolak mentah-mentah dengan alasannya sangat klise. Pihak RSHS mengatakan bahwa hal tersebut tidak perlu diteliti. Setelah penyakit terdeteksi dan diobati, semuanya beres.

Tetapi pemikiran Imam berbeda. Ia berasumsi bahwa ketika molekul sel terdeteksi, maka cara kerja obatnya pun akan langsung masuk sasaran, tidak asal tembak, tidak ada yang namanya salah obat. Kemudian dengan telaten ia mulai mengajukan proposal ke rumah sakit-rumah sakit lain, hingga akhirnya dengan sangat terbuka Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) memberikan angin segar dengan menerima pengajuan kerjasama tersebut.

Beberapa waktu yang lalu FMIPA Unpad kembali memberikan hasil yang membanggakan. Dua jurusan dari fakultas ini berhasil bekerja sama dengan pihak luar. Salah satunya masih jurusan yang sama, Kimia. Mereka bekerja sama dengan Rumah Sakit Cicendo tentang Lem Fibrin untuk pengobatan setelah operasi mata yang akan membawa dampak dan pengaruh besar terhadap dunia pengobatan, terutama dalam pengobatan pascaoperasi.

Selaku dosen Kimia Unpad, Imam yang merupakan pencetus dan pembimbing untuk kerjasama tersebut, Lem Fibrin akan sangat berguna mengingat setelah operasi biasanya mereka menggunakan jahitan benang untuk merekatkan luka bekas operasi tersebut. Hal ini sangat menyiksa ketika proses penjahitan dan ketika jahitan tersebut harus dibuka. Dengan metode Lem Fibrin, luka bekas operasi tidak perlu dijahit karena luka tersebut akan merekat sendiri. Lem Fibrin bisa menghasilkan protein pembentuk sel yang berguna untuk merekatkan kulit yang terluka bekas operasi.

Selain bisa dihasilkan dari tubuh kita, Lem Fibrin juga bisa dihasilkan oleh bakteri e-coli, yakni bakteri dari sisa sekresi kita atau bekas-bekas pembuangan seperti tinja dan lain-lain.

Bahaya atau Tidak

Setiap inovasi pasti selalu memiliki dampak baik dan buruk. Inovasi ini membuat kita bisa melihat betapa membantunya metode Lem Fibrin tersebut. Kita tak perlu bersusah payah menggunakan teknik lama dengan menjahit luka bekas operasi tersebut. Selain itu, Lem Fibrin tak hanya digunakan untuk operasi mata, tetapi juga bisa digunakan untuk luka operasi lainya.

Sejauh ini Lem Fibrin hanya bisa dihasilkan oleh bakteri e-coli dan bagian tubuh manusia. Hal ini juga menjadi salah satu kendala. Bakteri e-coli merupakan bakteri dari bekas pembuangan sehingga harus melalui tahapan-tahapan yang sangat intensif agar tidak memberikan dampak yang berbahaya bagi tubuh manusia. (Tiara Sutari)
Read Post | komentar
 
© Copyright 8ANDUNG TERKINI 2012 - Media Online Terkini. Some rights reserved, kostumisasi layout oleh Dyah Eka | Diberdayakan oleh Blogger.com.
Template Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates and Theme4all