Video
Klasemen
Arsip
-
▼
2012
(13)
-
▼
November
(13)
- Musisi Jalanan
- Sudut Malam Monumen Perjuangan
- Kurangnya Standar Keselamatan Pekerja Bangunan
- Penghargaan Nobel Sastra, Indonesia Kapan?
- Bermain Sambil Belajar Bersama
- Rumah Di Seribu Ombak
- Komunitas Reptil Bandung: Tahu, Mengenal, dan Peduli
- Lebih Dekat dengan Soekarno melalui Wawancara Imaj...
- Teh Minuman Kesehatan
- Percuma Memikirkan HAM saat Kita Belum Makan
- Tarian Jepang, Cita Rasa Indonesia
- K3S: Komunikasi Adalah Bagian dari Budaya
- Partner untuk Lem Fibrin
-
▼
November
(13)
Foto Jurnalistik
Musisi Jalanan
Sudut Malam Monumen Perjuangan
Kurangnya Standar Keselamatan Pekerja Bangunan
Para pekerja bangunan
pembangunan gedung penunjang pendidikan di Universitas Padjadjaran tidak
memperdulikan pakaian standar keselamatan pekerjaan mereka.
Jatinangor, Sumedang – Seorang pekerja bangunan,
Adi Sholeh (35) mengaku tidak mengetahui soal standar keselamatan pekerja
bangunan saat proses pembangunan gedung penunjang pendidikan di Gelanggang Olah
Raga (GOR) Pakuan Universitas Padjadjaran, Kamis (8/11).
Pembangunan
gedung penunjang pendidikan Unpad yang ditandatangani pada tanggal 28 September
2012 lalu, tidak mementingkan keselamatan pekerjanya. “Mandornya lagi nggak ada, dek. Lagi keluar kayaknya”
ujar Riyadi, seorang pekerja yang baru saja masuk Rabu (7/11) lalu.
Ketidakhadiran mandor pekerja sebagai pengawas pekerjaan, membuat makin
bertambahnya kurang perhatian terhadap standar keselamatan pekerja disana.
Para
pekerja yang sudah bekerja semenjak tanggal ditandatanganinya kontrak mengaku
sudah biasa bekerja dengan keadaan sedemikian rupa. Mereka bekerja tanpa
menghiraukan keselamatan mereka. Helm standar pekerja, sarung tangan, rompi pelindung,
dan sepatu boots tidak mereka kenakan.
Para pekerja tersebut hanya menggunakan baju kaos kerah, celana panjang, dan
sepatu biasa.
Ketika
ditanya mengenai ketua pelaksana maupun rekomendasi keselamatan dari mandor,
para pekerja tersebut tidak mengetahui keberadaan mandor mereka. Hal ini
menimbulkan ketidakpastian dalam standar keamanan para pekerja bangunan
tersebut.
(Ogie
Kurniawan)
Wawancara
Penghargaan Nobel Sastra, Indonesia Kapan?
Sastra bagi negara komunis China sudah mendapat
apresiasi lebih dikancah internasional. Hal ini membuktikan kemajuan yang
drastis bagi China. Karena baru pertama kali warga negara China, Mo Yan, dan
orang China kedua yang terpilih menjadi penerima Penghargaan Nobel
Kesusasteraan pada tahun 2012 ini dengan karya-karyanya yang mengubah persepsi
orang mengenai realitas kehidupan. Mo Yang juga pernah dituding subversif
karena kritik sosial tajam pada karya-karyanya.
Banyak sastrawan kita yang kurang diapresiasi oleh
beberapa kalangan penduduk Indonesia. Seperti halnya, kurangnya apresiasi di
tingkat SD, SMP, SMA dan bahkan di tingkat perguruan tinggipun sama halnya. Hal
ini perlu diperhatikan oleh orang banyak, karena bisa memicu turunnya peringkat
Indonesia khususnya di bidang sastra dengan banyak-sedikitnya apresiator dari
berbagai kalangan. Namun hal ini perlu dikaji ulang karena berkaitan dengan
minat baca. Meskipun sebenarnya banyak sastrawan kita yang memiliki karya-karya
yang sudah berhasil meraih penghargaan-penghargaan tertentu, seperti Pramoedya
Ananta Toer, dengan beberapa karyanya menembus beberapa penghargaan juga, dan
Andrea Hirata, yang sukses dengan Laskar Pelanginya. Kedua sastrawan tersebut
sudah mendapat penghargaan secara internasional meskipun tidak mendapatkan
Penghargaan Nobel Sastra.
Seorang sastrawan Unpad, Taufik Ampera sangat
senang mengikuti berita mengenai Penghargaan Nobel Sastra. Beliau yang saat ini
sedang menjadi Dosen Sastra Sunda di Fakultas Ilmu Budaya, Unpad mengikuti alur
perkembangan sastra baik negara sendiri maupun negara-negara lainnya, seperti
China yang baru-baru ini menerima Penghargaan Nobel Sastra. Beliau sangat ahli
dalam mengkaji perihal seputar Penghargaan Nobel Sastra dan karya-karya
sastrawan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer dan sastrawan luar seperti Mo Yan
yang baru saja tahun 2012 ini menerima Penghargaan Nobel Sastra. Beliau sangat
lugas, dan tegas menjawab setiap pertanyaan yang saya lontarkan terkait
Penghargaan Nobel Sastra ini. Mari kita simak bagaimana wawancara, Ogie
Kurniawan, mahasiswa Jurnalistik Fikom Unpad dengan Taufik Ampera mengenai
Penghargaan Nobel Sastra dan perkembangannya di Indonesia.
Apa itu Penghargaan Nobel Kesusasteraan?
Nobel Penghargaan Sastra itu adalah penghargaan
tertinggi dan bergengsi untuk bidang sastra di tingkat dunia, karena itu akan
memberikan bukti apresiasi atau penghargaan kepada sastrawan di negara-negara
dunia ini bahwa mereka sudah menciptakan karya yang dihargai oleh banyak
negara. Penghargaan yang cukup penting di luar bidang-bidang lainnya, dan Alhamdulillah nobel itu juga memasukkan
sastra sebagai bagian dari penghargaan.
Apakah menurut Bapak, ada kriteria khusus yang
disepakati untuk pemilihan penerima Nobel Penghargaan ini?
Tentu saja ada ya,
tim penilai juri memiliki kiriteria untuk menentukan karya yang akan dijadikan
sebagai apa yang akan diberikan penghargaan. Tapi yang Saya amati, beberapa
karya itu ada pertalian dengan tata negara. Seperti cerminan politik, pengarangnnya,
latar belakang karya itu sendiri.
Bagaimana tanggapan anda mengenai Mo Yan sebagai
penerima Nobel Penghargaan Sastra?
Mo Yan sebagai pengarang China ya, Saya pikir
adalah orang yang sangat kritis dalam memberikan realita yang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari dan bisa dituangkan dalam karyanya. Karyanya pun
mencerminkan perpaduan antara imajinasi dengan realita berbentuk padu, karyanya
banyak menggambarkan atau menceritakan kehidupan yang ada kaitannya dengan
latar sejarah, kemudian sosial masyarakatnya. Artinya disini diangkat
permasalahan-permasalahan yang kompleks tentang realita manusia. Saya pikir itu
merupakan daya kreativitas yang dilatarbelakangi oleh daya kritik pengarang terhadap
kenyataan yang ada dan Saya pikir Mo Yan itu adalah pengarang yang memang
memiliki bakat yang luar biasa, beberapa karyanya udah diapresiasi, sudah mendapatkan satu penghargaan yaitu karya
yang judulnya “Kata”. Kemudian ada karya satu lagi yang diterjemahkan kedalam Bahasa
Indonesia dada subur, pantat apa itu, Saya lupa judulnya. Ada penghargaan
pengakuan karya Mo Yan serta dia sebagai pengarang.
Ini berarti suatu kemajuan bagi China ya pak
dibidang sastra, sedangkan selama ini biasanya juri hanya melirik pada
negara-negara Eropa…
Saya justru berkata sebaliknya, bukan kemajuan
bagi China, namun itu kemajuan bagi juri. Sudut pandang juri yang dulu lebih
berorientasi pada Eropa ternyata ada perubahan sekarang negara-negara lainnya
itu perlu dilirik, perlu diapresiasi, karena negara-negara diluar Eropa itu
banyak sekali menghasilkan sastrawan yang menghasilkan karya agung monumental.
Kemudian ketika memilih China tentu saja ada alasan-alasan lain. Saya pikir
disinilah tadi karya itu akan berdekatan dengan tata negara dan politik,
kebetulan apa yang digambarkan oleh Mo Yan dalam karyanya juga berkaitan dengan
politik. Ketika dia mendapatkan penghargaan, ada satu syarat atau negosiasi
yang berkaitan dengan politik, hal itu menarik Saya pikir. Jadi yang ada
kemajuan itu Saya pikir diletak juri itu, juri mau mengubah paradigma dalam
melihat karya diluar karya-karya Eropa.
Jika dibandingkan karya-karya sastrawan Indonesia
dengan karya Mo Yan gimana pak?
Ada satu perbandingan, Pramoedya Ananta Toer,
karyanya luar biasa, Pram sudah termasuk pengarang yang produktif. Pram sudah
menghasilkan 50 karya, kemudian sudah dialih bahasakan ke 41 bahasa gitu kalo tidak salah. Artinya disitu
ada keluarbiasaan dan ada persamaan yang terjadi pada Mo Yan dengan Pram. Mo
Yan sempat ditentang dengan karyanya, begitu juga Pram. Dia selalu menyangkut
situasi kondisi kenegaraan. Mo Yan pun seperti itu, nah artinya disini ada sesuatu yang bisa diangkat dalam realita itu
tentu saja dengan pengolahan imajinasi tersebut. Kalau Saya perbandingkan,
artinya sebenarnya Indonesia juga ada sastrawan ada pengarang yang kualitasnya
malah lebih lah dari Mo Yan, kalau Pram sudah mendapatkan penghargaan, tahun
1999 Madagaskar, tahun 2000 Jepang, lebih banyak penghargaan yang diterima Pram
daripada Mo Yan.
Pramoedya Ananta Toer pernah terpilih sebagai
kandidat penerima Nobel Penghargaan Sastra, akan tetapi setelahnya tidak ada
lagi, bagaimana tanggapan Bapak?
Saya pikir memang untuk ke nobel itu belum ada
pengarang seperti Pram. Namun baru-baru ini ada angin segar pengarang muda,
Andrea Hirata. Karyanya bisa menembus 21 negara, bisa menembus
penerbit-penerbit yang menerbitkan novel karya sastra yang mendapatkan
penghargaan nobel artinya sudah sejajar dengan pengarang yang mendapatkan
penghargaan. Artinya Andrea belum mendapatkan hadiah nobel tapi secara umum dia
sudah mendapatkan pengakuan secara internasional. Kalau kedepannya mungkin bisa dijadikan
kebanggan bagi Indonesia, sebagai pengarang yang bisa dijadikan pengarang
internasional.
Apakah ada prospek kedepan bagi sastrawan Indonesia
sebagai kandidat penerima Penghargaan Nobel Sastra?
Ya bisa, artinya ada karya yang diunggulkan. Itu
artinya diterima juga oleh negara-negara lain. Bagaimana cara penerimaannya,
yaitu negara-negara lain bisa mengalihbahasakan ke berbagai bahasa. Bukan hanya
sekedar bahasa Inggris tapi bahasa-bahasa asing lainnya. Sehingga mendapatkan
pengakuan. Kalau semua itu sudah dilakukan, artinya karya Indonesia sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain, semakin banyak dibaca semakin banyak
di apresiasi. Dan ada masukan ke panitia juri tentang karya yang diunggulkan itu
langkah-langkah yang bisa dilakukan. Artinya karya-karya yang diunggulkan yaitu
juga merupakan tugas penerbit di Indonesia yang bekerja sama dengan penerbit di
luar kemudian juga pemerintah melalui departemen tertentu bagaimana
mempublikasikan, mengedarkan karya anak bangsa diluar, gitu ya. Sekarang kan banyak kegiatan-kegiatan ditingkat
internasional yang ada kaitannya dengan pengenalan kebudayaan, salah satunya
coba kita kenalkan karya-karya yang ada di Indonesia.
Apa upaya sastrawan Indonesia agar semua itu
terealisasikan dengan baik?
Sastrawan seharusnya juga banyak belajar dari
karya-karya dari luar. Artinya kita bisa mengolah lebih banyak dengan
perkembangan-perkembangan dari sudut penceritaan, tema-tema yang diambil,
pengolahan imajinasi, bagaimana menemukan dan mengangkat realita yang ada ke
dalam fiksi, itu seharusnya lebih banyak dipelajari. Kemudian juga kaitannya dengan
perkembangan teknologi juga, seharusnya dikaitkan dengan dengan sastra ya. Jadi
sastra bukan hanya dalam bentuk buku, tapi bagaimana sastra bisa diahlihkan
dengan teknologi. Saya pikir itu akan lebih membuka peluang untuk dibaca oleh
masyarakat luar. Masyarakat di negara-negara lain sisanya dengan elektronik,
dan media lainnya. Dan juga harus dipikirkan agar karya anak bangsa ini hak
ciptanya bisa dihargai.
Menurut Bapak, apa kekurangan kita berdasarkan
sastra itu sendiri atau disudut pandang sastrawannya?
Apresiasi sastra sangat lemah sekali. Kalau karya
sastra Saya pikir sudah ada sudah banyak sudah cukup untuk dibaca oleh
masyarakat, tapi apresiasi masyarakat terhadap sastra itu masih kurang. Jadi
bagaimana sekarang pekerjaan kita menumbuhkan apresiasi. Saya pikir masih lemah
apresiasi ditingkat SD, SMP, SMA malah perguruan tinggi juga terutama yang
belajar di Fakultas Sastra, kemudian yang menyebabkan itu tentu saja ada
kaitannya dengan minat baca yaitu bagaimana kita bisa menghargai bisa
mengapresiasi bisa membaca karya sastra kalau tidak ada minat baca. Ya
upaya-upaya seperti itulah masyarakat tentunya harus lebih berbakat.
Kalau untuk kepengarangannya bagaimana pak?
Kalau untuk kepengarangan dewasa ini di Indonesia
banyak lah pengarang-pengarang muda yang sudah menghasilkan karya-klarya yang
bisa diunggulkan baik itu pengarang-pengarang perempuan ataupun pengarang laki-laki.
Jadi tampaknya disini tidak didominasi oleh laki-laki saja tapi juga perempuan.
Dan juga ada karya Mo Yan yang sudah difilmkan, yang judulnya Saya lupa. Itu
membuktikan karya-karya Mo Yan ini sangat berkelas ya dibidangnya.
Apakah dari Fakultas Sastra Unpad ada bakat-bakat
yang sudah mulai kelihatan untuk menjadi sastrawan?
Untuk sekarang sih Saya lihat ada, cuman mereka
masih butuh pembelajaran yang pas. Artinya disini mereka harus lebih banyak
membaca karya-karya sastrawan baik luar maupun dalam negeri. Dengan begitu
mereka akan terlatih untuk membuat karangan-karangan yang bersifat atau bernilai
sastra.
(Rahmat Ogie Kurniawan)
Bermain Sambil Belajar Bersama
Jatinangor,
Sumedang – Jumat
(9/11), sebuah acara dengan unsur bermain dan pendidikan diadakan di Lapangan Ex-Kopma
Universitas Padjadjaran oleh mahasiswa dan mahasiswi Departemen Ilmu Hubungan
Masyarakat (Humas), Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Fikom Unpad)
angkatan 2011. Acara yang diberi judul Gembira
Belajar dan Beraksi (Galaksi) adalah bagian dari rangkaian orientasi yang
dijalani oleh mereka, yakni Public Relations Orientation (PRO) 2012.
Humas angkatan 2011 diberikan
kesempatan untuk membuat dua event angkatan
yang mengharuskan mereka untuk memisahkan diri ke dalam dua kelompok, yakni social event dan gathering event. Sehari sebelumnya, event bernama Maroonation telah berlangsung di Aula Moestopo,
Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Fikom Unpad).
“Galaksi ini adalah satu
rangkaian itu, ini adalah social event angkatan,”
ujar Alf Ghibran, ketua event Galaksi.
Sebelumnya, para panitia telah melakukan fact
finding dan menemukan bahwa kadar kebahagiaan anak-anak di Jatinangor
rendah. “Contohnya di Ciseke dan TPU Gajah. Di Ciseke, tempat sampah dibuat
sebagai tempat bermain. Itu miris banget kalau
gue lihat, buat main bola pula. Di
TPU Gajah juga sama, tempat itu dipakai sebagai tempat bermain mereka,” jelas
pria kelahiran Malang, 10 Oktober 1992 ini.
Konsep acara Galaksi ini
sendiri adalah fun learning with children,
bermain sambil belajar dengan anak-anak. Semua elemen dalam pelaksanaan acara
ini, baik panitia, peserta, maupun para panitia PRO 2012 sendiri, bersatu dan
bersenang-senang. “Kita juga bisa mengenang masa kecil kita,” ucap pria yang
akrab dipanggil Jawa.
Peserta yang mengikuti
rangkaian acara dari pukul 15.00 WIB ini adalah murid-murid SDN Neglasari
Jatinangor dan anak-anak dari Panti Asuhan Yayasan Riyadlul Jannah. Jawa beralasan
bahwa pemilihan SD ini melihat gedung sekolah yang digunakan bangunnanya tak
layak disebut tempat belajar. Sedangkan panti asuhan dipilih karena Humas 2011
ingin membahagiakan anak-anak yang tak lagi memiliki ayah dan ibu dengan apa
yang mereka punya.
Alf Ghibran memuji teman-teman
Humas 2011-nya yang bekerja dengan sangat asyik sehingga persiapan acara ini
sangatlah lancar. Respon yang mereka dapatkan dari masyarakat sekitar juga
baik. Salah satu pengurus Hima Humas, Dzulkifli Nurindra Surachman, dari Humas
2010, anggota Divisi Media menilai bahwa acara ini berhasil. “Daripada
tahun-tahun sebelumnya, acara ini lebih ramai dan kayaknya semuanya lebih berpartisipasi, baik panitia maupun
nonpanitia.”
(Rizky Nawan Putra Lubis)
Rumah Di Seribu Ombak
Kamis, 08 November 2012
Judul : Rumah Di Seribu Ombak
Pengarang : Erwin Arnada
Penerbit : Gagas Media
Halaman : 387
Dimensi : 14.5 x 21 cm
“ Tahukah kau mengapa Tuhan menciptakan langit dan laut? Semata agar kita tahu, dalam perbedaan, ada batas yang membuat mereka tampak indah dipandang.”
"Rumah Di Seribu Ombak" bercerita tentang perahabatan dua orang anak
laki-laki, Samihi dan Wayan Manik. Meski usia, kepercayaan, dan latar belakang
mereka berbeda, perbedaan-perbedaan tersebut justru menyatukan mereka. Mereka
berdua tinggal di sebuah desa kecil di kawasan Singaraja, Bali, yang bernama
Kalidukuh. Perbedaan memang bukan hal yang besar di Desa Kalidukuh, di desa
inilah warga beragama Islam dan Hindu hidup berdampingan dengan rukun dan damai.
Samihi dibesarkan dalam lingkungan keluarga Muslim, sedangkan Yanik, sapaan
akrab Wayan Manik, dibesarkan dengan lingkungan keluarga Hindu.
Buku karya Erwin Arnada ini dikemas secara apik sehingga menggugah
emosi pembaca. Diceritakan perjuangan Samihi dan Yanik dalam mengejar
mimpi-mimpi mereka masing-masing. Persahabatan mereka pun seringkali diuji
dengan konflik-konflik menarik yang terkadang menimbulkan pertengkaran kecil di
antara mereka.
Ujian terberat bagi persahabatan mereka ialah ketika Samihi membocorkan
rahasia Yanik kepada Ketua Adat di desa mereka. Masih merasa kecewa dengan
perbuatan Samihi itu, Yanik kembali diuji dengan adanya Tragedi Bom Bali yang
menewaskan ayah kandungnya.
Kejadian-kejadian tersebut akhirnya membuat Yanik berkeputusan
untuk pergi meninggalkan Desa Kalidukuh. Samihi benar-benar menyesal dengan
kejadian itu, ia berusaha mencegah kepergian Yanik, tetapi hal itu sia-sia.
Apakah persahabatan yang telah mereka jalin selama ini hancur karena
kejadian-kejadian tersebut?
Buku ini banyak memberikan pelajaran bagi pembacanya, mulai dari
persahabatan, mimpi, cinta, bahkan pluralisme beragama.
(Mentari Chairunisa)
Komunitas Reptil Bandung: Tahu, Mengenal, dan Peduli
Banyak orang yang mengatakan bahwa reptil adalah hewan yang buas dan menjijikkan. Tunggu dulu, kenyataannya reptil bisa menjadi hewan peliharaan yang jinak seperti halnya kucing dan juga anjing. Komunitas Reptil Bandung (KRB) tengah melakukan ‘promosi’ gencar-gencaran mengenai kelayakan reptil untuk dijadikan hewan peliharaan ini. “Dulu, kita pernah nyoba bawa reptil jalan-jalan di Ciwalk, tapi ternyata kita diusir, padahal Ciwalk itu termasuk pet-mall,” ujar Tema Datresta, ketua KRB.
Fakta-fakta
yang mengungkap bahwa reptil masih dipandang sebelah mata itulah yang membuat
KRB bertekad untuk memasyarakatkan reptil. Untuk mewujudkan tekad tersebut, KRB
mulai melakukan sosialisasi mengenai reptil di acara-acara yang diselenggarakan
di Kota Bandung. Selain membuka stan di acara-acara tersebut, KRB juga rutin
mengadakan sosialisasi di Car Free Day (CFD)
setiap Minggu. Mereka biasanya membawa reptil-reptil peliharaan mereka,
seperti biawak, ular, dan iguana agar orang-orang mulai menjadi terbiasa dengan
reptil.
Banyak
yang tidak menyadari bahwa reptil sebenarnya adalah aset berharga yang dimiliki
Indonesia. Reptil terbesar di dunia berada di Indonesia, yakni komodo. Hal ini
menjelaskan bahwa seharusnya Indonesia, baik pemerintah maupun masyarakatnya,
turut andil melestarikan hewan tersebut. Mulai peduli dengan kehidupan reptil-reptil
di luar sana.
“Di
Indonesia, reptil patut untuk dibanggakan. Orang-orang mancanegara banyak yang
datang ke sini untuk mengenal reptil lebih jauh,” papar Tema. Selain komodo, reptil
lain di Indonesia yang patut dibanggakan ialah ular sanca kembang. “Mungkin
orang cuma tahu kalau ular terbesar di dunia itu phyton, tapi enggak banyak dari mereka yang tahu kalau ular terpanjang
di dunia itu ada di Indonesia, yaitu ular sanca kembang,” tambah Tema.
Aset-aset seperti itulah yang seharusnya patut kita jaga dan kita lestarikan, kita pun juga patut berbangga dengan adanya reptil-reptil tersebut yang sebenarnya bisa dijadikan objek wisata. Namun, sayang,masyarakat masih banyak yang memandang reptil sebelah mata, terlebih lagi, pemerintah pun dirasa kurang begitu peduli dengan hal ini.
Menyebarkan Edukasi, Melalui
Sosialisasi
Selain melakukan sosialisasi terhadap reptil, KRB juga menyelipkan sisi edukasi tentang reptil kepada masyarakat. “Edukasi yang kami lakukan itu berupa sosialisasi kepada masyarakat mengenai berbagai macam reptil yang berasal dari Indonesia dan juga luar Indonesia,” ujar Tema. Menurutnya, edukasi itu penting agar masyarakat mulai tahu, mengenal, dan juga peduli terhadap reptil.
Biasanya,
materi-materi edukasi yang diberikan cukup beragam dan terbagi menjadi beberapa
kelas. Kelas-kelas tersebut membantu para masyarakat yang ingin belajar atau
pun bertanya mengenai reptil, kelas-kelas tersebut ialah kelas pemula menengah,
dan mahir. Dalam
edukasi kelas pemula, biasanya hanya dijelaskan mengenai jenis-jenis reptil dan
bagaimana cara pemeliharaannya saja.
Edukasi pemula biasanya diberikan kepada masyarakat awam. Edukasi menengah berisikan materi mengenai cara beternak reptil dan juga perkembangbiakannya. Sedangkan materi mahir berisikan bukan materi-materi ringan untuk para penggila reptil. Edukasi yang mereka berikan biasanya tak berbatas usia, mereka melakukan sosialisasi edukasi itu terhadap semua kalangan, mulai anak-anak, remaja, hingga dewasa. “Kalau untuk anak SD, sih, kita lebih menjelaskan dengan contoh. Misalnya, kalau ular di sawah terus dibunuh, maka populasi tikus akan bertambah dan juga akan mengakibatkan padi yang terus menipis,” papar Tema.
Edukasi pemula biasanya diberikan kepada masyarakat awam. Edukasi menengah berisikan materi mengenai cara beternak reptil dan juga perkembangbiakannya. Sedangkan materi mahir berisikan bukan materi-materi ringan untuk para penggila reptil. Edukasi yang mereka berikan biasanya tak berbatas usia, mereka melakukan sosialisasi edukasi itu terhadap semua kalangan, mulai anak-anak, remaja, hingga dewasa. “Kalau untuk anak SD, sih, kita lebih menjelaskan dengan contoh. Misalnya, kalau ular di sawah terus dibunuh, maka populasi tikus akan bertambah dan juga akan mengakibatkan padi yang terus menipis,” papar Tema.
Selain
melakukan edukasi kepada masyarakat, mereka juga saling bertukar informasi
antar sesama komunitas reptil, seperti Komunitas Reptil Cimahi, Komunitas
Reptil Jatinangor, Komunitas Reptil Garut, dan lainnya. Dengan
dilakukannya sharing informasi
tersebut, KRB berharap dapat menambah akrab jalinan komunitas-komunitas reptil
yang ada.
Selain melakukan sosialisasi tersebut, KRB juga mengadakan kontes-kontes reptil untuk menarik minat dan perhatian orang-orang. Di samping itu, kontes tersebut diharapkan dapat mempertemukan para pecinta reptil satu sama lain. KRB pun terus berupaya agar masyarakat tak lagi menganggap bahwa reptil adalah binatang buas dan menjijikkan.
Mengapa Reptil?
Reptil
saat ini masih suka dipandang sebelah mata oleh masyarakat, mereka pun masih
enggan memikirkan hewan tersebut untuk dijadikan hewan peliharaan. Namun, Tema
dan kawan-kawan dari KRB justru telah dibuat jatuh cinta dengan hewan tersebut. “Pelihara
reptil itu enggak ribet karena makannya hanya sekali dalam seminggu. Selain
itu, dari segi waktu dan juga budget lebih ringan dibanding memelihara hewan lainnya,” ujar Tema.
Selain
alasan itu, mereka juga senang bergelut di dunia reptil karena kekeluargaan yang terbina di antara sesama pecinta reptil. “Reptil itu ruang lingkupnya kecil,
tetapi solid. Gampang menyebar di mana-mana,” tambah Tema. Alasan-alasan
itulah yang membuat mereka tetap bertahan untuk mencintai reptil. Upaya mereka
pun ternyata membuahkan hasil. Pada awalnya, di daerah Bandung sendiri hanya
memiliki tiga komunitas reptil, salah satunya ialah KRB yang merupakan
komunitas terbesar. Namun, seiring berjalannya waktu, saat ini mulai banyak
bermunculan komunitas-komunitas reptil yang lain yang bahkan tersebar di
wilayah-wilayah sekitaran Bandung.
Dengan
bermunculannya komunitas-komunitas reptil tersebut sperti memberikan angin
segar di dunia reptil, karena menurut mereka, komunitas lebih potensial menjaga
satwa, dalam hal ini reptil, ketimbang pemerintah.
(Mentari Chairunisa)
(Mentari Chairunisa)
Langganan:
Komentar (Atom)

